Mohon tunggu...
Hari Murti
Hari Murti Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

STRATA 1 BIDANG EKONOMI PERTANIAN ; CInta Menulis untuk Bangsa yang Berliterasi

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Mengenal Lebih Dekat dengan Ombudsman Republik Indonesia, Pelayanan Publik & Apa Itu Maladministrasi

17 Desember 2024   14:14 Diperbarui: 17 Desember 2024   19:56 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Logo Ombudsman RI (Sumber: kompas.com)
Logo Ombudsman RI (Sumber: kompas.com)

Ombudsman berasal dari bahasa Skandinavia kuno: ombud, yang bermakna perwakilan dan proxy, yang bermakna wali amanat. Raja Charles XII dari Swedia yang pertama kali menggunakan istilah "om-buds-man" untuk menamai sebuah organ publik pemerintah/ state auxiliary organ. Dia menerapkannya setelah mengamati lembaga-lembaga Islam Kekaisaran Ottoman selama pengasingannya lima tahun di Turki. Sebagai suatu institusi yang secara tegas  dikatakan sebagai Lembaga negara, sistem Ombudsman justru sebenarnya pertama kali dikenal pada masa Kekalifahan Islam. Menurut Dean M. Gottehrer, mantan Presiden Asosiasi Ombudsman Amerika Serikat, menemukan bahwa pada dasarnya Ombudsman berakar dari prinsip-prinsip keadilan yang menjadi bagian dari mekanisme pengawasan dalam sistem ketatanegaraan Islam, hal ini dapat di lihat pada masa Khalifah Umar Bin Khattab (634 - 644) yang pada masa itu memposisikan diri sebagai "Muhtasib" yaitu orang yang menerima keluhan dan juga menjadi mediator dalam mengupayakan proses penyelesaian perselisihan  antara  masyarakat  dengan  pejabat pemerintah.  Tugas sebagai Muhtasib dilakukan secara langsung oleh Umar Bin Khattab sendiri dengan cara mendengar langsung keluhan dari rakyat. Umar bin Khattab kemudian membentuk lembaga Qadi Al Quadat (Ketua Hakim Agung) dengan tugas khusus melindungi warga masyarakat dari tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat pemerintah.

Fase pertama terbentuknya Ombudsman di Indonesia ditandai dengan pengungkapan pemikiran dari beberapa sarjana tentang pentingnya pembentukan Ombudsman. Beberapa sarjana telah memperkenalkan Ombudsman sejak era pemerintahan Orde Baru. Peran media massa harian umum Kompas turut andil memfasilitasi pemikiran-pemikiran penting tersebut, seperti tulisan P. K. Ojong tanggal 10 Februari 1967 dan tulisan Satjipto Rahardjo tahun 1976 berjudul "Ombudsman ke Arah Perlindungan Warganegara". Pada tahun 1981 terbitan buku dari Muchsan berjudul "Peradilan Administrasi" dan Junaidi Suwartojo tahun 1995 berjudul "Korupsi, Pola Kegiatan, dan Penindakannya serta Peran Pengawasan dan Penanggulangannya". Terakhir, salah satu pemikiran yang penting dari tulisan Markus Lukman pada makalah perspektif yang menganjurkan pentingnya pembentukan sebuah Lembaga fungsional (non struktural) yang dapat melakukan fungsi pengawasan seperti di negara negara maju.

Fase kedua history perjalanan pembntukan ombudsman beranjak dari ide-ide pentingnya keberadaan lembaga Ombudsman melalui upaya-upaya nyata yang dilakukan oleh pemerintah yang terbagi menjadi dua pemerintahan, yaitu B.J. Habibie dan K.H. Abdurrahman Wahid. Pada masa pemerintahan B.J. Habibie dilakukan tahapan rintisan yang menugaskan CFG. Sunarti Hartono melakukan studi banding tentang lembaga dan pranata Ombudsman ke berbagai negara Eropa pada tahun 1999. Dari hasil studinya dia mengungkapkan bahwa negara-negara demokrasi menganggap perlu untuk membentuk lembaga Ombudsman dalam rangka memfasilitasi masyarakat menyalurkan keluhannya terkait pelayanan publik.

Fase ketiga kelahiran ombudsman dimana  Ombudsman di Indonesia merupakan sebuah tuntutan era reformasi akan pemerintahan yang bersih, transparan dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Setelah berakhirnya pemerintahan B.J. Habibie, pada pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid meneruskan pemikiran dan upaya pembentukan Ombudsman dengan memanggil Menteri Kehakiman dan HAM dan Kejaksaan Agung. Latar belakang pembentukan Ombudsman oleh Presiden K.H. Abdurrahman Wahid yang menyatakan "Pada saat ini lembaga-lembaga pengawas tidak berjalan efektif. Oleh sebab itu perlu dibentuk suatu lembaga pengawasan, dimana masyarakat diikutsertakan." Tepat pada 10 Maret 2000 berdiri Komisi Ombudsman Nasional (KON) melalui penetapan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000, dimana pada tanggal ini juga dirayakan sebagai hari lahir Ombudsman yang dilandasi tiga pemikiran dasar, yaitu peran serta masyarakat melakukan pengawasan, peran serta masyarakat untuk meniminalisir penyalahgunaan wewenang, dan menciptakan keadilan dan kesejahteraan.

Kedudukan Ombudsman RI semakin diperkuat dengan ditandatanganinya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 sekaligus mengubah nomenklatur Komisi Ombudsman Nasional (KON) menjadi Ombudsman Republik Indonesia. Kemudian, dibentuk juga Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dimana undang-Undang ini dibentuk untuk menciptakan kebaikan, menjamin keadilan dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat atau good governance dan clean governance dalam pelaksanaan pelayanan publik oleh instansi pemerintah kepada masyarakat.

Pelayanan Publik sendiri merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara atau penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang dilaksanakan oleh Lembaga atau instansi sesuai perundang-undangan. Dalam Undang-undang Pelayanan Publik yaitu UU No. 25 tahun 2009 dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik. Tujuan adanya UU No. 25 tahun 2009 ini diantaranya:

  • agar terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;
  • terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik;
  • terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
  • terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, Ombudsman adalah Lembaga Negara yang mempunyai kewenangan mengawasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Miliki Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) serta Badan Swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Ombudsman disahkan sebagai Lembaga pengawas dari pemberian layanan kepada masyarakat oleh pemerintah atau lembaga terkait sebagai wujud bahwa negara hadir dalam mengayomi masyarakat apabila ditemukan ketidaktepatan / maladministrasi yang dilakukan Lembaga pelayanan publik yang diakses masyarakat.

Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri (Lembaga negara non-struktural), independen dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya, sehingga independensi dalam melaksanakan pengawasan pelayanan publik yang dilakukan ombudsman seluruhnya dilindungi oleh undang-undang. Ombudsman sendiri memiliki visi besar dalam pengawasan pelayanannya. Ombudsman Republik Indonesia mempunyai visi menjadi Lembaga Pengawas yang Efektif, Dipercaya, dan Berkeadilan guna Mewujudkan Pelayanan Publik yang Berkualitas. Dalam rencana pencapaian visi besarnya Ombudsman mem-breakdown-nya dengan memecahnya menjadi 3 Misi besar yaitu mewujudkan profesionalisme fungsi pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, mewujudkan kepatuhan penyelenggaraan pelayanan publik terhadap hasil pengawasan ombudsman dan mewujudkan pelayanan publik yang inklusif bagi seluruh rakyat indonesia yang mengakses pelayanan publik.

Dalam pelaksanaannya, ombudsman memiliki tugas dan wewenang yang telah diatur oleh undang-undang No. 37 tahun 2008 pada Pasal 7 dan Pasal 8. Penjabarannya yaitu sebagai berikut:

Pada Pasal 7 UU No. 37 tahun 2008 mengenai tugas ombudsman tertulis bahwa ombudsman memiliki 8 tugas pokok yaitu:

  • menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
  • melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;
  • menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
  • melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
  • melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;
  • membangun jaringan kerja;
  • melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
  • melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang undang

Untuk wewenang yang dilakukan Ombudsman tercantum pada pasal 8 UU no. 37 tahun 2008 dengan 7 wewenang utama yaitu :

  • meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari masyarakat / Pelapor, orang yang dilaporkan / Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
  • memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan;
  • meminta klarifikasi dan/atau salinan dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor;
  • melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan;
  • menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi;
  • membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
  • mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi atas temuan maladministrasi

Dalam UU No 37 tahun 2008, Maladministrasi sendiri adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan Pelayanan Publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiel dan/atau immateriel bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Maladministrasi merupakan suatu tindakan yang menyimpang dari etika administrasi, atau suatu praktik administrasi yang menjauhkan dari pencapaian tujuan administrasi. Terminologi Dari pengertian maladministrasi dipahami lebih luas dari sekadar penyimpangan yang bersifat ketatabukuan. Meskipun demikian, maladministrasi juga harus dipahami tidak sekadar sebagai penyimpangan terhadap hal administrasi tertulis, tetapi lebih luas mencakup penyimpangan terhadap fungsi-fungsi pelayanan publik yang dilakukan setiap penyelenggara negara kepada masyarakat.

Secara lebih umum maladministrasi di artikan sebagai penyimpangan, pelanggaran atau mengabaikan kewajiban hukum dan kepatutan masyarakat sehingga tindakan yang dilakukan tidak sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik (good governance). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa parameter yang dijadikan sebagai ukuran maladministrasi adalah peraturan hukum dan kepatutan masyarakat serta asas umum pemerintahan yang baik.

Dalam buku Budhi Masthuri (2005), Crossman mengklasifikasikan bentuk tindakan yang dapat dikategorikan sebagai maladministrasi yaitu: berprasangka, kelalaian, kurang peduli, keterlambatan, bukan kewenangan, tindakan tidak layak, jahat, kejam, dan semena-mena.

Jadi dapat disimpulkan secara singkat atas penjabaran-penjabaran diatas mengenai Ombudsman dalam ranah pengawasan pelayanan publik yaitu Ombudsman menerima laporan dugaan maladministrasi dalam pelaksanaan pelayanan publik, melakukan audit substantif atas laporan tersebut dan menindaklanjuti hal-hal yang menjadi kewenangan Ombudsman dan melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang. Kewenangan Ombudsman adalah meminta keterangan  lisan dan/atau tertulis kepada pelapor, terlapor, atau pihak  terkait lainnya mengenai laporan yang disampaikan kepada Ombudsman dan kewenangan lainnya sesuai undang-undang.

Ombudsman juga berwenang memberikan usulan atau rekomendasi kepada Presiden, kepala daerah, atau kepala pemerintahan lainnya untuk memperbaiki dan menyempurnakan organisasi dan/atau tata cara pelayanan publik, juga mengajukan usulan perubahan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam rangka untuk mencegah maladministrasi.

DAFTAR PUSTAKA

 

Budi Masthuri. 2005. Mengenal Ombudsman Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita. hlm 6-8

Dean M. Gotteher. 2000. International Update: The Second Ombudsman Leadership. San Fransisco: Forum Conference. hlm. 14

Undang Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia

Undang Undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun