Mohon tunggu...
Hari Murti
Hari Murti Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

STRATA 1 BIDANG EKONOMI PERTANIAN ; CInta Menulis untuk Bangsa yang Berliterasi

Selanjutnya

Tutup

Book

Resensi Buku: Konferensi Meja Bundar (KMB): Jalan Menuju Terbentuknya Bank Sentral Republik Indonesia

2 September 2024   06:08 Diperbarui: 2 September 2024   06:08 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bank Indonesia Institut

Judul Buku                                       :           KONFERENSI MEJA BUNDAR: Jalan Menuju Terbentuknya Bank  Sentral Republik Indonesia

Penanggung Jawab Produksi  :           Yoga Affandi

Kepala Produksi                           :           Clarita Ligaya

Tim Penyusun                               :           Agus Setiawan, Rita Krisdiana, Allan Akbar

Editor                                                :           Nawiyanto

Kontributor                                    :           Hardini Swastiana, Sintya Aprina, Lesta Alfatiana, Rangga Ardia Rasyid, Mirza Ardi Wibawa


Cetakan Pertama, Oktober 2023

xxii + 426 hlm, 14,5 x 20,5 cm

ISBN: 978-623-5662-52-7 (cetak)

978-623-5662-51-0 (PDF)


Bank Indonesia Institute

Jl. M.H.Thamrin No.2, Jakarta 10350 Indonesia

http://www.bi.go.id/id/bi-institute

Kemerdekaan Negara Republik Indonesia merupakan buah dari perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Perjuangan yang tidak hanya melalui serangkaian perjuangan fisik, melainkan juga perjuangan diplomasi di meja perundingan. Puncak perjuangan diplomasi dalam menghadapi kolonialisasi Belanda adalah pada Konferensi Meja Bundar (KMB), dimana perundingan KMB menjadi puncak dari semua upaya perundingandan  menjadi akumulasi dari rangkaian perundingan sebelumnya sebagai pembuka jalan seperti perjanjian Linggarjati, Renville dan Roem Royen. Rangkaian proses terbentuknya Bank Indonesia sebagai hasil dari nasionalisasi De Javasche Bank (DJB) tidak hanya berlatar masalah politis-nasionalis semata. Berdirinya Bank Indonesia berdasarkan pada kebutuhan akan sebuah bank sentral yang merepresentasikan kedaulatan ekonomi sebuah negara. Meskipun tidak bisa menghindari fakta bahwa hasil perundingan KMB, lebih memberi keuntungan pada pihak Belanda. Selain mengharuskan RI untuk membayar hutang yang sangat besar kepada Belanda. Buku yang tidak hanya menggambarkan perjalanan yang dinamis, tetapi juga merekam babak penting dalam sejarah pembentukan Bank Indonesia. Kumpulan fakta dan data historis dalam buku Konferensi Meja Bundar: Jalan Menuju Terbentuknya Bank Sentral Republik Indonesia disajikan untuk memperdalam pemahaman tentang proses panjang pembentukan sebuah lembaga yang menjadi cerminan kedaulatan ekonomi sebuah bangsa. Buku Konferensi Meja Bundar Jalan Menuju Terbentuknya Bank Sentral Republik Indonesia" merupakan karya yang diterbitkan oleh Bank Indonesia Institute. Buku ini menyajikan perjalanan sejarah yang kompleks dan penuh dinamika dari revolusi Indonesia hingga terbentuknya Bank Sentral Republik Indonesia sebagai representasi keadaulatan negara Indonesia. Melalui bab-bab yang terstruktur dengan baik, buku ini mengupas tuntas berbagai aspek politik, ekonomi, dan sosial yang mempengaruhi pembentukan Bank Indonesia.

Bab I : Panggung Revolusi -- Dimensi Ekonomi Politik Era Transisi 

Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan peristiwa yang berdampak luas karena berlangsung di tengah transisi kekuasaan politik yang penuh ketidakpastian, menyusul kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik. Berbeda dengan bangsa lain yang meraih kemerdekaan melalui  pemberian dari negeri induk, kemerdekaan Indonesia diraih melalui proses berliku karena berbagai kendala dan persoalan yang muncul silih berganti demi mencapai kemerdekaan.  Upaya pihak Belanda untuk pengambilalihan wilayah Hindia Belanda yang telah memerdekakan diri sebagai sebuah republik baru bernama Indonesia, dimulai dengan mendaratkan pasukan NICA di Indonesia pada 08 September 1945 dibantu oleh Inggris sebagai Sekutu Belanda. Belanda berhasil mendaratkan tiga batalion pasukan di Jakarta pada Maret 1946. Tidak hanya mendarat di Jakarta, pasukan Sekutu ingin melaksanakan tugas melucuti tentara Jepang juga datang ke sejumlah kota lain di Indonesia. Kehadiran mereka disambut dengan perlawanan rakyat Indonesia dan melahirkan sejumlah pertempuran heroik terutama Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945. Sementara itu, situasi di Jakarta yang kian tidak kondusif akibat meningkatnya aksi teror pasukan KNIL memaksa kepala negara dan Pemerintah RI, khususnya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, meninggalkan kota itu menuju Yogyakarta pada tanggal 03 Januari 1946 yang sekaligus menandai pemindahan ibu kota RI ke Yogyakarta. Sejak tanggal 4 Januari 1946 Yogyakarta mengambil-alih peran Jakarta sebagai ibukota RI.

Perlawanan rakyat yang demikian gigih terjadi di hampir seluruh wilayah untuk mempertahankan kemerdekaan. Pasukan Inggris berkesimpulan bahwa sengketa antara Indonesia dan Belanda tidak bisa hanya diselesaikan secara militer,  melainkan juga dengan jalan diplomasi. Berbagai usaha diplomasi dengan perjanjian pasca kemerdekaan antara Indonesia dengan Belanda telah dilakukan diantaranya:

1.  Perjanjian Linggarjati (1947) 

Diantara isinya yaitu Belanda mengakui Indonesia secara de facto atas Jawa, Madura dan Sumatera. Indonesia menjadi negara Federal atau dikenal dengan RIS dan pembentukan UNI Indonesia Belanda. Namun Belanda melanggar kesepakatan dan melakukan invasi militer pada 21 Juli 1947 di Jawa dan Sumatera, kemudian PBB ikut turun tangan dan membentuk Komisi TIga Negara (KTN) unuk menyelesaikan masalah tersebut.

2. Perjanjian Renville (1948)

Dilakukan setelah dibentuknya Komisi Tiga Negara (KTN) dengan anggota Australia mewakili Indonesia, Belgia mewakili Belanda & Amerika Serikat sebagai perantara. Sidang diadakan diatas kapa USS Renville denga isi perjanjian disepakati yaitu: Republik Indonesia berkedudukan sejajar dengan Belanda, RI menjadi bagian RIS dan diadakan Pemilu untuk pembentukan Konstituante, dan Tentara Indonesia di daerah Belanda harus dipindah ke wilayah RI.

3. Perjanjian Roem-Royen (07 Mei 1949)

Belanda ingkar janji dengan Kembali mengadakan Agresi Militer Belanda II, akibatnya Indnesia mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indoneisa (PDRI) di Bukittinggi Sumatera Barat dengan Presiden sementara Syarifuddin Prawiranegara. Atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia atau United Nations Commission for Indonesia (UNCI), sebuah perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda berhasil diselenggarakan di Jakarta pada 14 April - 07 Mei 1949 yang dikenal dengan perjanjian Roem-Royen  dengan isi perjanjian yaitu menghentikan perang gerilya Indoensia Belanda dan memelihara ketertiban,dan pemerintah RI kembali ke Yogyakarta dan bersedia turut menghadiri Konferensi Meja Bundar dalam waktu dekat.

Pemerintah RI sendiri secara resmi kembali ke Yogyakarta pada 01 Juli 1949, disusul dengan kedatangan para pemimpin RI yang Kembali dari medan gerilya. Secara umum, kondisi perekonomian Indonesia pada masa revolusi sangat memprihatinkan. Kegiatan perekonomian tidak bisa dijalankan secara maksimal karena semua kekuatan dan potensi bangsa dikerahkan untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengatasi pemberontakan yang terjadi di dalam negeri. Selain berbagai masalah di bidang ekonomi, Pemerintah Indonesia juga harus menghadapi masalah moneter pada masa awal kemerdekaan.

Alat tukar yang masih beredar dan digunakan masyarakat adalah uang. Jepang, uang Belanda, serta uang yang masih tersimpan di De Javasche Bank (DJB) karena pemerintah belum memiliki dan mencetak uang sendiri. Angka inflasi yang tinggi menyebabkan penderitaan rakyat makin bertambah. Berbagai upaya pihak Belanda untuk menekan perekonomian RI  melalui blokade ekonomi tidak menyurutkan upaya Pemerintah RI untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang tengah dihadapi rakyat Indonesia. Diantara Langkah perencanaan strategis yang dilakukan pemerintah Indonesia yaitu menyita semua bangunan umum, perkebunan dan industri yang telah beroperasi sebelum perang menjadi milik negara, menasionalisasi bangunan vital milik asing dengan pembayaran ganti rugi, menyita semua perusahaan milik Jepang sebagai ganti rugi terhadap RI dan mengembalikan perusahaan asing kepada yang berhak setelah diadakan perjanjian antara RI dan Belanda juga program rasionalisasi yang mencakup perbaikan administrasi negara, angkatan perang, dan perangkat ekonomi.

Bab II : Bermain Peran -- DJB, NKG, BNI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun