Mohon tunggu...
Hariman A. Pattianakotta
Hariman A. Pattianakotta Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Penyuka musik

Bekerja sebagai Pendeta dan pengajar di UK. Maranatha

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Politik Hospitalitas dan Penegakan Hukum

20 November 2020   12:40 Diperbarui: 20 November 2020   23:06 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi politik dan hukum di Indoensia. (sumber: KOMPAS/DIDIE SW)

"Pertanyaannya, apakah politik hospitalitas itu meniadakan penegakan hukum? Tentu tidak. Tanpa hukum, kita tidak bisa menjamin bahwa politik hospitalitas itu akan hidup dan menjadi budaya sebuah negara."

Tensi politik Indonesia, khususnya di pulau Jawa, kian menghangat sejak kepulangan Rizieq Shihab. Ulama yang terbilang "kontroversial" ini memang selalu menjadi "magnit" dalam perpolitikan Indonesia. 

Kedatangannya dari Arab ke Indonesia terjadi persis di tanggal 10 November. Kehadirannya pun disambut bak pahlawan. Bandara menjadi macet karena kerumunan massa pendukungnya. Padahal, Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19. 

Tak berhenti di situ, kerumunan pun berlanjut. Baik di Megamendung-Bogor maupun di kediaman sang habib di Petamburan-Jakarta, massa berjubel ingin melihat dan mendengar siraman dakwahnya secara langsung. 

Kerumunan massa yang terjadi sudah tentu melanggar aturan dan protokol Covid-19 yang berlaku. Kerumunan massa ini sebenarnya masih bisa dicegah, baik melalui aparat keamanan yang tegas menegakkan aturan maupun oleh himbauan dari Rizieq Shihab sendiri untuk massa pendukungnya. 

Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jabar serta Kapolres di bawah mereka mendapatkan getahnya. Para perwira ini dicopot dan dimutasikan ke tempat baru. 

Politik Hostilitas

Pencopotan dan mutasi yang terjadi di tubuh Polri itu barulah permulaan cerita. Tampaknya jagat maya Indonesia akan kembali ramai, dan tensi politik pun akan semakin memanas.

Di bulan Desember ini Pilkada serentak akan kembali di gelar. Lalu, di tahun 2022 Pemilu Presiden, DPR-RI  dan DPD RI akan dilakukan. Politisi dan partai politik (parpol) sudah mulai pasang kuda-kuda. Ditambah dengan proses legislasi di DPR RI terkait dengan rancangan UU yang terbilang sensitif, maka emosi nasional akan meningkat.

Yang harus diwaspadai dalam kondisi nasional yang tidak kondusif itu adalah politik hostilitas atau politik kebencian. Politik hostilitas dikembangkan dari praktik politik SARA, yang terus dieksploitasi oleh politisi Indonesia, bahkan terjadi di negara sekaliber Amerika Serikat.

Suku dan agama tertentu dijadikan sebagai sasaran kebencian. Berbagai propaganda licik dan tak berdasar disebarluaskan untuk membangkitkan rasa marah dan benci, yang bisa saja berujung anarki. Kelompok-kelompok tertentu yang menjadi sasaran kebencian itu lalu menjadi tumbal dari hasrat picik yang dijalankan melalui kenderaan politik hostilitas. 

Di era digital dan post-truth dewasa ini, politik kebencian mendapatkan saluran yang lebih besar. Media sosial dapat mengantarkan berbagai propaganda tak berdasar itu ke berbagai kalangan dan penjuru.

Misalnya, propaganda tentang rencana memasukkan warga dari Cina oleh konglomerat Indonesia keturunan Tionghoa melalui perumahan-perumahan elit yang dibangun di tepi pantai, seperti Pantai Indah Kapuk, Jakarta. Propaganda murahan yang picik ini adalah contoh praktik politik kebencian yang sedang disebarluaskan. 

Ada pihak-pihak tertentu yang memang sengaja mendesain dan menyebarluaskan ketakutan dan syak wasangka untuk memanas-manasi. 

Mereka tak segan memanipulasi kesadaran masyarakat dengan memakai simbol-simbol primordialisme agama dan ras demi kekuasaan, uang, dan popularitas dengan mengorbankan kemanusiaan, kesatuan dan keutuhan bangsa.

Politik Hospitalitas

Di tengah situasi politik yang menghangat dan ancaman politik hostilitas, kita membutuhkan keberanian dan kecerdasan untuk mencerna situasi demikian dengan kepala dingin, sembari menawarkan jalan politik yang lebih ramah dan tulus. 

Politik hospitalitas adalah jalan politik yang memungkinkan kita mengatasi situasi di atas. Hospitalitas merupakan virtu atau kebajikan yang mengajak kita melihat yang lain, yang berbeda, bahkan yang asing sebagai sahabat.

Yang berbeda atau yang asing bukan musuh dan ancaman yang harus disingkirkan, melainkan sahabat yang perlu dirangkul. Perangkulan dilakukan berdasarkan kasih untuk kehidupan bersama yang lebih baik. 

Golden rule "apa yang engkau ingin orang lain lakukan kepadamu, lakukan itu terlebih dahulu kepada orang lain" menjadi panduan. Setiap kita tentu ingin diperlakukan dengan adil dan penuh rasa hormat. Maka, harapan tersebut perlu diperlihatkan oleh kita terlebih dahulu kepada orang lain. 

Bila golden rule itu diikuti, maka bonum commune atau kebaikan bersama akan terwujud. Namun, bagaimana kalau golden rule itu tidak diikuti? Itulah persisnya yang membuat kita berada dalam situasi sekarang ini.

Namun, dalam spirit hospitalitas, keramahtamahan, kebaikan, ketulusan harus terus dihidupkan dan semakin urgen dalam situasi seperti sekarang. Bahkan, kita ditantang untuk memberikan pengampunan dan maaf di tengah situasi kebencian. Sebab, hanya itu satu-satunya jalan damai. 

Desmon Tutu, peraih nobel perdamaian yang menentang politik diskriminatif di Afrika Selatan mengatakan "tidak ada perdamaian tanpa pengampunan." Desmon Tutu, Nelson Mandela, mereka adalah pelaku politik hospitalitas. 

Mereka berbesar hati memberikan pengampunan untuk para pelaku kekerasan, kebencian, dan penggerak politik diskriminatif. Nelson Mandela, sang korban politik diskriminatif itu pernah dipenjara dan diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Namun, ketika ia menjadi presiden Afrika Selatan, ia tidak membalas perbuatan barbar itu. Ia memilih jalan politik pengampunan.

Politik hospitalitas ini yang mesti kita hidupi sebagai anti tesis terhadap politik hostilitas. Para politisi dan masyarakat secara luas perlu menghayati dan menghidupi spirit politik hospitalitas ini dalam relasi-relasi sosial sehari-hari.

Penegakan Hukum

Pertanyaannya, apakah politik hospitalitas itu meniadakan penegakan hukum? Tentu tidak. Tanpa hukum, kita tidak bisa menjamin bahwa politik hospitalitas itu akan hidup dan menjadi budaya sebuah negara. 

Tentu, hukum yang dimaksudkan di sini bukan sekadar hukum di atas kertas, tetapi juga soal penegakan hukum itu sendiri. Dalam pengalaman, hukum sering tajam kepada rakyat kecil, orang-orang minoritas dan kaum papah, tetapi tumpul terhadap penguasa, pengusaha besar, dan orang-orang tertentu yang berpengaruh. 

Aparat penegak hukum kerap tidak berlaku objektif, melihat muka, dan tak jarang ikut terseret ke dalam sentimen primordial sehingga lumpuh dalam penegakan hukum. 

Dalam kasus-kasus intoleransi di Indonesia misalnya, kerapkali kita melihat aparat keamanan justru kalah dengan gaya premanisme yang memakai simbol-simbol agama. Bukan mengamankan dan menghukum para pelaku, tetapi para korbanlah yang justru "diamankan." 

Dalam masa pandemi ini pun kita bisa melihat perbedaan sikap aparat keamanan dan BNPB. Di satu tempat ada pembiaran, bahkan difasilitasi, namun di Papua orang-orang ditangkap, bahkan sampai diborgol; terkesan sangat berlebihan dan diskriminatif. 

Hukum dan aturan mesti ditegakkan tanpa memandang muka. Dengan penegakan hukum, kita membangun budaya egaliter dan kehidupan yang ramah dengan perbedaan, sebab hukum menjamin kesederajatan setiap orang dan menjaga perbedaan. 

Dengan hukum, tak ada dominasi mayoritas ataupun tirani monoritas. Tidak ada anak tiri atau anak emas. Tak ada fovoritisme dalam hidup bernegara dan penegakan hukum. 

Jika kita setia berpegang pada prinsip-prinsip negara hukum, maka bangsa yang dulunya ramah seperti bangsa kita akan kembali kepada jatidirinya, yakni bhineka tunggal ika. Kesatuan dan keberagaman akan terawat.

Karena itu, mari hidupkan politik hospitalitas dan pemerintah harus berani tegakkan hukum dan aturan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun