Bahkan, ada yang rela memberi diri untuk membela apa yang mereka sebut dan klaim sebagai kebenaran. Padahal, seperti yang dikatakan Gus Dur, kebenaran (agama) tidak perlu dibela. Apalagi, sampai melakukan kekerasan dan pembunuhan.Â
Fenomena tersebut menjadi contoh dari wujud beragama tanpa akal sehat. Inilah yang membuat orang beragama menjadi intoleran, radikalis, bahkan teroris.Â
Antisipasi
Situasi buram tersebut mesti lekas-lekas diatasi. Tidak boleh ada satu kelompok agama tertentu, atas nama agama apa pun, yang merasa diri paling benar, paling suci, dan paling berkuasa, sehingga bisa berkata dan bertindak seenaknya.Â
Pertaruhannya ada tiga, kemanusian, agama, dan keutuhan bangsa. Kemanusiaan kita akan tersakiti, bahkan rusak bila ruang-ruang publik kita terus dijejali dengan kekerasan, baik verbal maupun fisik, dengan memakai simbol-simbol keagamaan. Agama itu untuk manusia, sehingga semestinya agama mendorong proses pemanusiaan.Â
Bukan sebaliknya, agama justru merongrong kemanusiaan. Kalau kekerasan dengan membawakan simbol-simbol keagamaan terus dipertahankan, maka agama akan kehilangan kredibilitasnya. Agama sendiri akan ambruk.Â
Kaum radikalis agama mesti sadar bahwa agama tidak bisa ditegakkan dengan kekerasan. Itu justru jalan meruntuhkan agama itu sendiri. Semakin banyak orang akan bersikap antipati terhadap agama tersebut, bila merasa diri sebagai yang paling di antara yang lain.Â
Sikap merasa diri sebagai yang paling itu pada akhirnya akan memecah-belah. Masyarakat tersegregasi. Negara dan bangsa pun akan terpecah. Akhirnya, Indonesia akan bubar. Semua ini dapat terjadi.
Karena itu, pertama, proses pencerdasan dalam agama mesti dilakukan. Orang beragama mesti memakai akal sehat. Jika ada pemimpin agama yang suka mengancam, menebar permusuhan dan kebencian, apalagi mendorong kekerasan, pemimpin tersebut tidak patut diikuti.Â
Kedua, perjumpaan dan diskusi dengan tetangga yang berbeda keyakinan mesti terus dilakukan. Perbanyak teman, perdalam pengetahuan, supaya tidak gampang diadu-domba. Bangun dan luaskan semangat dialog, agar keyakinan yang berbeda bisa dipahami. Hal ini akan mendorong kerjasama-kerjasama yang lebih baik dan konstruktif.
Ketiga, politisi mesti berhenti memainkan politik SARA. Bermain terus dengan politik SARA, sama halnya dengan membuang api di jerami kering. Ruang publik dan negara kita akan hangus terbakar.