Beberapa hari lalu, harian Kompas memuat berita tentang pengakuan Kenichi Tago, pemain bulu tangkis asal Jepang. Tago mengaku telah mendatangi kasino ilegal sekitar 60 kali dalam dua tahun dan menghamburkan uang 10 juta yen atau Rp 1,2 miliar (Kompas, 11 April 2016). Padahal, di Jepang berjudi di kasino adalah perbuatan melanggar hukum. Pelakunya terancam hukuman penjara hingga lima tahun.
Yang lebih parah, Tago mengajak Kento Momota, rekannya sesama pemain bulu tangkis, melakukan perbuatan haram itu. Momota sendiri, juara India Terbuka tahun 2016, mengaku telah enam kali berjudi di kasino dan menghamburkan 500.000 yen atau Rp 60 juta. Akibat perbuatannya itu, ia terancam mendapat sanksi berat. Peluang untuk tampil di Olimpiade 2016 di Brasil terancam punah.
Momota sendiri telah menyatakan penyesalannya dan memohon maaf. Tago, yang merasa bertanggung jawab atas apa yang menimpa Mamato, berharap agar rekannya itu tetap bisa mewakili Jepang di Olimpiade musim panas nanti. Tago sendiri mengaku tak peduli terhadap hukuman yang bakal menimpanya.
Namun ternyata Asosiasi Bulu Tangkis Jepang (NBA) tak kenal ampun. Sekretaris Jenderal NBA Kinji Zeniya mengumumkan Momota tidak boleh tampil di Rio de Janeiro. Tago dilarang terlibat bulu tangkis sampai batas waktu yang belum ditentukan. Yang sedikit melegakan, Mamato masih diberi kesempatan untuk tampil di Olimpiade 2020 di Tokyo. Namun selama empat tahun mendatang, apa yang bakal terjadi? Tidak ada yang tahu. Menanggapi hukuman ini, Zeniya mengatakan bahwa pihaknya menekankan pentingnya bertindak tegas terhadap pemain yang terlibat dalam perbuatan ilegal dan melanggar hukum.
Jika kita menilik prestasi Tago, sebetulnya cukup baik meski tidak bisa dikatakan fenomenal. Ia menjadi runner-up di sejumlah turnamen. Prestasi ini sedikit banyak mengangkat pamor negeri Sakura di duina bulu tangkis. Yang lebih spektakuler justru prestasi Momota. Ia bagian dari tim Jepang yang memenangi Piala Thomas tahun 2014. Dalam turnamen beregu antar negara itu, tak sekalipun ia kalah. Ia orang pertama Jepang yang memenangi Singapura Terbuka. Dengan kemenangan itu, ia menjadi juara termuda Super Series. Tahun 2015, ia sekali lagi mencetak sejarah dengan menjadi juara BWF World Championships di Jakarta. Dengan usianya yang masih muda, Momota sejatinya berpeluang merajai tunggal putra bulu tangkis dunia.
Mengapa NBA “tega” menghukum Tago dan Momota dan seolah-olah melupakan jasa-jasa mereka bagi dunia bulu tangkis negeri Sakura? Penulis lantas teringat novel laris Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi (2009). Dalam novel itu, Alif Fikri, sang murid pesantren yang menjadi tokoh utama, harus rela rambutnya dicukur gundul sebagai hukuman atas kesalahannya melanggar prosedur. Ia pergi ke Surabaya tanpa izin.
Padahal ia pergi ke kuta buaya itu demi membeli perlengkapan untuk pertunjukan yang kemudian sukses besar dan dipuji-puji orang-orang satu pesantren. Ia pun rajin mengharumkan nama pesantren. Menanggapi hal ini, sang guru yang menjatuhkan hukuman berujar. “…di sini adalah tempat memberikan jasa, bukan minta dan mengingat jasa. Kepastian hukum adalah yang pertama kita jaga supaya ini terusa melekat ke diri kalian, kapan dan di mana pun. Kepastian hukumlah yang membuat PM (nama pesantren dalam novel ini) menjadi sekolah yang baik.”
Dari petikan kisah novel ini, jelaslah bahwa saat seseorang menjadi anggota sebuah organisasi atau komunitas, maka ia wajib memberikan kontribusi maksimal bagi kemajuan dan kemaslahatan orang lain, wajib menjadi panutan bagi orang lain apa pun tugas dan posisi yang diembannya, dan wajib menaati aturan-aturan yang berlaku. Ketiga-tiganya tidak boleh tidak ada. Jika salah satu saja absen, maka orang ini berpotensi menjadi duri. Apalagi bila ketiga-tiganya tidak ada. Inilah yang jamak kita jumpai.
Betapa banyak orang yang pintar namun melakukan korupsi atau perbuatan tercela lainnya sehingga menjadi beban bagi masyarakat. Betapa banyak atlet yang prestasinya hebat namun kemudian terbukti mengonsumsi obat-obatan terlarang. Juga betapa banyak orang yang taat pada aturan namun ia hanya sekedar menjalankan kewajibannya, tanpa mau bersusah bayah untuk berusaha lebih baik lagi.
Ketegasan NFA juga demi keadilan. Bayangkan ada dua orang yang berprestasi sama bagusnya. Namun yang satu taat aturan dan berperilaku lebih baik, sedangkan yang satu sebaliknya. Jika keduanya dapat imbalan yang sama, apakah ini adil?
Jadi tepatlah apa yang dikatakann oleh guru si Alif, “memberikan jasa, bukan meminta dan mengingat jasa.”