Mohon tunggu...
Hari Hariadi
Hari Hariadi Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Riset dan Publikasi

Sarjana Ekonomi, Magister dalam Ilmu Manajemen. Bekerja sebagai karyawan

Selanjutnya

Tutup

Money

Tongdaeng dan Majapahit

31 Desember 2015   22:15 Diperbarui: 31 Desember 2015   22:32 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang warga Thailand terancam penjara setelah dituduh menghina anjing milik Raja Bhumibol Adulyadej. Hal itu disampaikan pengacara tersangka pada Selasa (15/12/2015), seperti dimuat lamam www.kompas.com. Tersangka bernama Thanakron Siripaiboon (27) dianggap melakukan pencemaran nama baik karena menulis pesan satir di Facebook tentang raja dan anjingnya, kata pengacara tersangka, Pawinee Chumsri, kepada AFP. "Ada sebuah tulisan disertai tiga foto di Facebook pada 6 Desember yang berisi pesan satir tentang anjing raja," kata Chumsri.

Thailand memiliki salah satu hukum anti-fitnah paling keras di dunia. Siapa pun yang terbukti menghina tokoh yang dihormati yakni raja, keluarga dan pewarisnya, akan menghadapi hukuman 15 tahun penjara.

Kabar terakhir, anjing yang diberi nama Tongdaeng (yang berarti merah keemasan) itu telah mati. Kabar ini dikemukakan Dekan fakultas kedokteran hewan Universitas Kasetsart Raja mengadopsi anjing itu tahun 1998, setelah menolongnya dari sebuah gang. Raja bahkan menulis buku mengenai Tongdaeng. Raja memuji loyalitas dan dedikasinya. Segera saja buku itu menjadi buku terlaris di Thailand. Film animasi mengenai Tongdaeng dirilis tahun ini.

Menurut www.bbc.com, kematian Tongdaeng mengingatkan rakyat Thailand akan semakin menurunnya kondisi kesehatan Raja yang mereka cintai, yang kini berusia 88 tahun. Beberapa tahun terakhir ini, Raja semakin jarang muncul di depan umum. Raja Bhumibol Adulyadej amat pupuler di mata rakyatnya. Ia dianggap sebagai lambang pemersatu nasional. Belum jelas apakah putra mahkota yang kelak menggantikannya memiliki tingkat popularitas yang setara dengan ayahnya. Jika tidak, tentu ini menjadi lampu merah bagi kondisi politik Negeri Gajah Putih itu, yang kerap diguncang kudeta dan ketidakstabilan politik.

Dalam sejarah, banyak kita jumpai kisah sebuah kerajaan yang mengalami kemunduran setelah ditinggalkan raja yang karismatik. Tak terkecuali kerajaan-kerajaan di Nusantara. Contohnya adalah Kerajaan Majapahit, yang berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 Masehi. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya, dengan menguasai wilayah yang luas di Nusantara, pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389 Masehi. Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan. Namun yang jelas, setelah Hayam Wuruk wafat, Majapahit kehilangan wibawanya akibat konflik perebutan takhta. Penyebabnya, tidak ada pengganti yang memiliki karisma dan kemampuan sekelas Hayam Wuruk.

Ada sebuah pelajaran menarik dari kisah jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan di dunia. Pelajaran ini berlaku bukan saja bagi kerajaan di masa kini, melainkan juga organisasi-organisasi lain semisal Negara modern dan perusahaan. Yaitu pentingnya menyiapkan kader-kader yang kelak memegang tampuk kepemimpinan. Jangan sampai sebuah organisasi hanya bergantung kepada karisma individu. Akibatnya, saat seorang pemimpin karismatik pergi, organisasi mengalami kemunduran.

Marshall Goldsmith, seorang pakar kepemimpinan dan penulis buku-buku manajemen, mengatakan bahwa yang pertama-tama harus ditanamkan ke jiwa para penerus adalah bahwa mereka kelak akan menjadi sorotan, dalam arti orang akan melihat dan mendengar setiap kata yang mereka ucapkan. Apatah lagi di Indonesia yang budayanya menganut kepemimpinan fasilitatif (Panggabean dan kawan-kawan, 2014).

Dalam kepemimpinan model ini, seorang pemimpin dituntut untuk mengayomi, akrab, dan rajin memberikan arahan kepada orang-orang yang dipimpinnya. Jadi, seorang penerus memiliki beban untuk senantiasa menjadi panutan.

Agar si penerus mampu menghayati perannya sebagai pemimpin, maka wajiblah ia memahami para pemangku kepentingan (stakeholders). Mereka adalah semua orang atau kelompok yang terkena dampak kebijakan dan aktivitas organisasi. Dalam level perusahaan, pemangku kepentingan dapat terdiri dari pelanggan, karyawan, investor, pemerintah, LSM, dan komunitsa setempat.

Untuk level negara, pemangku kepentingan yang utama tentu saja rakyat, instansi dan lembaga-lembaga swasta, dan negara-negara lain. Tentu tidak semua pemangku kepentingan harus dipuaskan kebutuhannya. Harus dipilih yang berdampak massal, positif, jangka panjang, dan berkelindan dengan visi dan misi. Perhatian penuh terhadap pemangku kepentingan dengan ciri-ciri yang demikian akan memudahkan penerus meraup dukungan.

Tak boleh dilupakan adalah pengembangan watak (character building) si penerus. Tujuannya tentu agar penerus tumbuh menjadi pemimpin dengan watak terpuji. Tanpa watak terpuji, maka sepintar apapun seseorang, ia hanya akan menjadi racun dan parasit bagi orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun