Bencana alam adalah fenomena yang tak terhindarkan, namun dampaknya terhadap kehidupan manusia seringkali menghancurkan secara fisik dan emosional. Pada 4 Desember 2021, Gunung Semeru di Jawa Timur meletus dengan dahsyat, mengubur desa-desa di sekitarnya dengan abu vulkanik dan material panas. Bencana ini menelan korban jiwa, menghancurkan rumah, merampas mata pencaharian, dan meninggalkan ribuan keluarga dalam kondisi tak menentu. Di balik kerugian besar tersebut, terselip kisah-kisah ketangguhan keluarga yang berusaha bangkit dari kehancuran, menghadapi masa depan dengan penuh harapan dan semangat.
Antara Kehilangan dan Harapan
Bagi para penyintas erupsi Semeru, hari-hari setelah bencana adalah masa-masa penuh ketidakpastian. Ribuan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka, tidak tahu kapan atau apakah mereka bisa kembali. Sebanyak 9.118 orang mengungsi ke 115 titik pengungsian, mencoba untuk mengais kembali sisa-sisa kehidupan mereka. Di antara mereka adalah keluarga IM, NA, dan TM, yang menjadi simbol ketahanan manusia di tengah bencana. Keluarga-keluarga ini, yang pada awalnya bergantung pada pertanian dan peternakan untuk hidup, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa segalanya yang mereka miliki terkubur oleh abu vulkanik.
Sebagai contoh, keluarga IM, yang terdiri dari pasangan muda dengan seorang anak, kehilangan rumah, hewan ternak, dan kebun kopi mereka di Desa Renteng. Meskipun menghadapi kerugian yang begitu besar, keluarga ini tidak tenggelam dalam keputusasaan. Mereka memulai kembali hidup dengan membuka warung kecil di hunian sementara (Huntap-Huntara) yang disediakan oleh pemerintah. "Kami berterima kasih atas bantuan ini, tapi kami tetap waspada untuk masa depan," ungkap sang suami. Ketangguhan mereka terlihat dari kemampuan untuk beradaptasi, beralih dari petani kopi dan peternak menjadi pengusaha kecil.
Luka Batin yang Tak Terlihat
Tak hanya kehilangan materi, penyintas erupsi juga dihadapkan pada tantangan psikologis. Trauma bencana seringkali berdampak jauh lebih mendalam daripada luka fisik. Banyak di antara mereka mengalami gejala stres pascatrauma (PTSD), kecemasan, dan depresi. Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi PTSD pada penyintas bencana alam bisa mencapai 38,7%. Tanpa dukungan psikologis, keluarga-keluarga ini berisiko mengalami gangguan psikologis yang berkepanjangan.
Meski demikian, banyak dari keluarga penyintas mampu menunjukkan ketangguhan psikologis yang luar biasa. Keluarga TM, misalnya, berhasil beradaptasi secara emosional meskipun kehilangan rumah dan ladang. Komunikasi yang lebih terbuka antara anggota keluarga membantu mereka mengatasi trauma. "Kami sering berdiskusi tentang perasaan kami, dan itu membantu kami menghadapi ketakutan kami," ujar sang ibu. Selain itu, dukungan sosial dari komunitas di Huntap-Huntara, termasuk kegiatan keagamaan seperti tahlil, menjadi salah satu bentuk terapi sosial yang membantu mereka menjaga keseimbangan emosi.
Peran Agama dan Komunitas dalam Menumbuhkan Harapan
Di tengah bencana, agama dan keyakinan sering kali menjadi sumber kekuatan bagi banyak penyintas. Mayoritas penduduk di lereng Semeru adalah Muslim yang taat, dan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti pengajian, sholat berjamaah, dan tahlilan menjadi pilar penting dalam kehidupan mereka. Bagi keluarga NA, erupsi Semeru dilihat sebagai ujian dari Tuhan. "Ini adalah cobaan yang harus kami hadapi dengan sabar dan ikhlas," ungkap sang ayah. Dengan terlibat dalam kegiatan keagamaan bersama komunitas mereka, keluarga-keluarga penyintas tidak hanya mendapat dukungan spiritual, tetapi juga dukungan sosial yang menguatkan solidaritas di antara mereka.
Dalam konteks bencana alam, penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial dari komunitas dapat memainkan peran penting dalam meningkatkan ketahanan keluarga. Hal ini tampak dalam kasus keluarga-keluarga penyintas erupsi Semeru, di mana mereka tidak hanya mendapat dukungan material, tetapi juga dukungan moral dari sesama penyintas yang mengalami kesulitan serupa.
Membangun Kembali dari "Nol"