Mohon tunggu...
Masyhari Kranji
Masyhari Kranji Mohon Tunggu... -

Berasal dari Kranji, sebuah kampung di pesisir utara Lamongan. Pernah singgah 9 tahun di DKI Jakarta, dan kini tinggal di Cirebon. Alumni Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji, LIPIA Jakarta 2010, Pasca IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2014. Saat ini aktif mengajar intensif bahasa Arab di PPB IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Blog: Mengaisembun.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Aku 'Bisa' Menulis, Karena Aku Mulai Menulis!

18 Juli 2014   15:05 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:59 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Take Action, no talk only!
Oleh: Hari M Ngaidin

“Caranya, mulailah saja menulis.”

Jawab para penulis mematahkan pertanyaan mereka (termasuk saya), para pemimpi menjadi penulis yang belum juga kesampaian.

Menulis, kata mereka gampang. Bisa iya. Bisa juga tidak.

Menulis bisa dibilang gampang. Sebab, seandainya sulit, mengapa banyak sekali buku yang sudah terbit di mana-mana?! Seorang penulis saja bisa menghasilkan puluhan buku, bahkan ribuan. Tidak hanya di era sekarang ini, namun sejak dahulu, para ulama Islam membukukan pemikiran mereka dalam karya tulis dengan jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit. Sebut saja Imam an-Nawawy, kitab “al-Majmu’” yang ditulisnya dalam belasan jilid, padahal hanya menjelaskan satu kitab al-Muhadzdzab” karya asy-Syairazi. Begitu juga dengan Ibnu Qudamah dengan magnum opusal-Mughni”nya. Dan, entah apa yang terjadi andai saja al-Risalah sebagai pionir Ushul fikih tidak dibukukan? Barangkali pondasi ushul fikih sama sekali tidak akan kuat terbangun. Bahkan, tradisi tulis-menulis ini telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, sejak dunia dimulai dengan zaman sejarah.

Pada era Arab jahiliyah, tradisi tulis menulis pun sudah demikian gencarnya, meskipun masih sekedar pada lembaran-lembaran daun kurma, tulang belulang, bebatuan, kayu dan lain sebagainya. Dan, tradisi ini mengalami letupan yang begitu dahsyatnya pada era kekhilafahan bani Abbasiyah di jazirah Arab. Dimana, perpustakaan-perpustakaan didirikan oleh para penguasa untuk menghimpun jutaan karya-karya ulama dan ilmuan yang kian hari kian melimpah. Sebut saja “al-Hikmah” di kota Baghdad, Irak.

Menulis dikatakan sulit. Karena pada kenyataannya, banyak orang yang belum punya karya tulis satu pun yang diterbitkan. STOP!!

Okelah, sekarang kita sepakat untuk sementara bahwa Menulis itu mudah tapi sulit. Mudah, bagi siapa yang mau memulainya, berusaha dengan latihan yang rajin dan istiqamah. Nah, poin yang terakhir ini kuncinya. Dalam hal apapun, yang paling penting adalah istiqamah (ajeg), tepati jadwalmu dan disiplinlah pada komitmen diri sendiri. Tentukan waktu yang pas, nyaman dan tenang buatmu sendiri tanpa ada gangguan dari siapapun atau kesibukan apapun. Walau hanya sekedar satu atau dua jam saja.

Sulit, bagi siapa yang cuma bermimpi dan belum memulainya. Menulis hanya akan mudah bagi mereka yang mau memulainya, yang yakin akan kemampuan dan kekuatan dirinya, yang yakin bahwa segala sesuatu itu tidak ada yang sulit dan mustahil di dalam dunia ini selama ada keyakinan. Keyakinan bahwa kita-lah yang akan mengubah nasib kita sendiri. Dan kita tiada pernah tahu garis takdir yang dilukis oleh-Nya. Masa depan yang cemerlang hanya akan diraih oleh mereka yang yakin akan kecemerlangan takdirnya, sehingga dia selalu berusaha untuk mencapainya. Dia tidak pernah putus harapan dan cita.

Tapi, aku tidak berbakat menulis!!

Tidak ada tapi. Semua manusia punya potensi yang sama. Dia makan nasi, saya juga makan nasi. Dia bisa baca buku, saya juga bisa. Dia bisa menulis, tentu saya juga punya potensi untuk bisa menulis dan menjadi penulis hebat.

Menulis itu proses belajar. Bukan bawaan lahir ataupun keturunan. Bukan pula warisan nenek moyang. Tidak ada bayi langsung bisa menulis, meski lahir dari ibu penulis buku best seller. Yang ada, mereka melatih anak-anak mereka itu untuk menulis melalui proses panjang dan penuh kedisiplinan. Mulai dari pembacaan cerita pada mereka (story telling) menjelang tidur mereka dan juga di waktu santai mereka. Para orang tua yang penulis itu senantiasa memberikan keteladanan dalam hal membaca dan menulis. Buku-buku tak pernah absen dari tangan dan mata mereka. Menulis sudah menjadi hobi bahkan kebutuhan mereka. Ibarat makanan bagi tubuh, sehari saja tidak disantap perut akan segera protes. Buku dan menulis harusnya bisa menjadi kebutuhan bagi saya, anda dan kita semua.

Seharusnya, menulis menjadi kebutuhan. Sebab waktu akan terus berlalu, sedangkan batas usia tiada pernah ditahu. Ilmu yang didapat selama bertahun-tahun harusnya bisa lebih bermanfaat jika dituliskan. Karena murid yang diajar secara langsung bertatap muka sangatlah terbatas. Dan jatah usia hidup kita sungguh terbatas. Berbeda halnya jika kita goreskan dan torehkan sedikit ilmu kita pada buku. Karya kita akan bisa dibaca dan dipelajari banyak orang, meski belum kenal kita, apalagi bertatap muka secara langsung. Buku, karya kita akan menjadi sedekah amal jariyah yang akan terus mengalir, selama buku kita dibaca dan diamalkan oleh orang, meskipun kita sudah tiada.

عش كاتبا أو مت مكتوبا"(isy katiban, au mut maktuban).” Hiduplah sebagai penulis, atau mati dikenang oleh sejarah.

Untuk menjadi seorang yang dikenang dan dibukukan dalam sejarah oleh seseorang sungguh sulit bagi saya, kita harus menjadi tokoh besar atau orang besar, ulama, pejabat publik, serta punya andil dan sumbangsih besar bagi jutaan umat manusia. Apalagi, syarat utamanya harus mati dulu. Dan kita tak pernah tahu kapan kita mati, meskipun itu suatu kepastian.

Yang paling pasti, agar kita dikenang dalam sejarah, kita sendiri yang harus menuliskan karya kita sendiri tentang hidup, dan berkehidupan dalam tinta sejarah hidup kita. Agar kita menjadi manusia yang membuat orang tersenyum di saat kita hidup dan menjadi manusia yang dirindu bila tiada.

Dan, Jangan biarkan mereka menangis dalam rindu pada kita, karena kita bisa menghapus air mata rindu mereka tuk berjumpa dengan kita, melaui tulisan-tulisan yang pernah kita goreskan.

Ya, aku memang bukan penulis. Buktinya belum ada buku yang terbit dari tanganku. Namun paling tidak, aku telah menjadi penulis makalah diskusi kelas, dan minimal telah menjadi penulis catatan ini.

Selamat menulis! Sebab tak akan ada  membaca, kalau tidak ada menulis.

Menulislah sekarang, karena kita tidak tahu kapan ajal datang!!

Jakarta, 06/10/ 2012 & Cirebon, 21/05/2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun