Saya paham kemana arah pertanyaan itu. Memang, tak ada yang salah jika kita berpikir dengan gaya kritis ala orang-orang hebat. Obrolan seputar birokrasi, penegakan hukum, hingga kebijakan-kebijakan presiden memang selalu asyik menjadi teman sembari minum kopi.
Ini semacam pilihan, kawan. Boleh jadi sifat heroik menjadi ransum bagi tubuh kita. Tapi kita tak boleh hanya sekadar berpikir. Terlalu banyak berpikir juga tidak baik bagi kesehatan. Tahukah, kawan. Kalau mata, telinga, tangan, kaki juga perlu diberi contoh. Lecut mereka dengan kerja-kerja kecil. Syukuri nikmat tanah yang telah diberikan Tuhan, mulailah dengan memanfaatkan tanah di pekarangan rumahmu sendiri.
“Apa yang mereka lakukan di luar sana, akan berdampak buruk bagi kita kelak!”
Ya. Barangkali mereka perlu diperdengarkan lagunya Koes Plus. Tapi jawaban itu tak akan memuaskan kawan tadi. Bukankah setiap perbuatan di dunia ini selalu disertai dengan tanggung jawab masing-masing? Soal pengrusakan tanah di luar sana, pastilah ada penanggung jawabnya. Kalau mereka lalai, juga sudah ada yang bertanggung jawab menghukumnya. Kalau masih saling melalaikan juga, masih ada yang bertugas menuntutnya. Kalau toh masih saling melalaikan, berarti mereka salah mengartikan lagu Koes Plus, tanah kita tanah surga. Mereka bekerjasama terus menggali. Saling melindungi. Barangkali mereka pikir surga ada di dasar sana! Mereka pikir dengan memperkaya diri bisa membeli surga milik Tuhan. Dasar tolol!
Kawan tadi tersenyum. Ada semburat kepuasan setelah saya mengumpat. Sialan![]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H