Mengapa kasus reklamasi pantai Jakarta menjadi sangat penting dan di sinyalir berpotensi bancaan korupsi maha dasyat dan berkelanjutan?
Teori lokasi menyatakan bahwa semakin dekat suatu lokasi ke pusat pertumbuhan, maka semakin mahal harga di lokasi tersebut.
Dalam pembangunan, lokasi merupakan faktor sentral dimana pembangunan fisik, fasilitas dan ruang interaksi pra produksi, produksi dan pasca produksi akan berlangsung. Pemilihan lokasi merupakan faktor rasional bagi siapapun dalam memulai usaha. Pertimbangan mendekati sumber bahan baku, atau lebih dekat ke pasar, mungkin pula ketersediaan fasilitas, perijinan dan infrastruktur yang menjadi faktor utama penentuan lokasi usaha tersebut.
Dalam konteks pengusaha, sisi lokasi yang tercermin dari RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) yang di tetapkan biasanya melalui peraturan perundang-undangan yang menjadi perhatian utama para investor dan pengusaha. Rencana Tata Ruang dan Wilayah merupakan Zonasi atau pembagian alokasi peruntukan wilayah apakah akan menjadi pusat komersial, pertanian, perumahan atau lainnya. Â Zonasi inipulalah yang menentukan besaran PBB, retribusi atau pungutan lain yang sah menurut aturan yang berlaku.
Reklamasi merupakan proses konversi dari perairan/ lautan menjadi daratan.
Secara teori RTRW atau zonasi merupakan dasar yang akan digunakan pemerintah manapun dalam memberikan beragam ijin sekaligus berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap pemanfaatan lahan baik di bawah tanah, di darat dan diudara tanpa melampaui daya dukung yang alam dan sesuai dengan dukungan layanan yang di sediakan oleh  ekosistem sekitar.
Perlunya Jakarta melakukan reklamasi saja masih dapat di perdebatkan. Dari sisi lingkungan, peraturan, keberpihakan pada nelayan, kemendesakan dan dari beragam sisi lainnya masih menyisahkan ruang dialektika yang luas.
Pengembangan kepulauan seribu misalnya dapat diambil sebagai opsi yang pro lingkungan tanpa melakukan reklamasi bisa dilirik sebagai salah satu opsi pembangunan. Meskipun, Kepulauan seribu pun yang secara geografis lebih dekat dimasukkan ke dalam wilayah administrasi tanggerang tetap dipertahankan menjadi milik DKI Jakarta hanya karena pertimbangan kekuatan modal saja,
Yang perlu digarisbawahi adalah pemerintah DKI Jakarta harus tetap menjadi driver utama dan sarana "administering Justice" seperti yang di dengung-dengungkan oleh AHOK, bukang sekedar menjadi kacung dan jongos pengusaha dalam rangka eksploitasi segala macam sumber ekonomi yang semakin di monopoli oleh pihak-pihak tertentu yang dekat kepada kekuasaan dan bermodal besar.Â
Zonasi atau Rancangan Tata Ruang dan Wilayah inilah yang perlu di kawal karena sarat unsur politis dan kepentingan. Efek zonasi ini akan berdampak lintas generasi, penguasaan lahan oleh pengusaha berimbas pada masukan bersumber dari  " perburuan rente" yang berkelanjutan dari hasil bagi kelola lahan reklamasi minimun 80 tahun lamanya. Belum lagi peningkatan harga lahan seiring dengan aglomerasi fasilitas perdagangan, bisnis, jasa, dan pariwisata seiring dengan perkembangan waktu ke waktu.
Berhati-hati dan lembut dalam melangkah. Berhenti sejenak, dan bukan sekedar memenuhi nafsu kebutuhan dana segar menjelang pemilihan gubernur yang baru, atau menggunakan isu reklamasi sebagai peluru untuk menjatuhkan lawan politik adalah saran yang dapat saya sampaikan.Â
Pembangunan sudah seharusnya memenuhi "otak, perut dan dompet" warganya tanpa menghilangkan faktor keadilan sosial dan keberlanjutan generasi selanjutnya.
Keberlanjutan kasus ini masih berlanjut, mungkin tidak akan selesai dalam satu atau dua periode gubernur DKI JAKARTA yang akan datang. Mari kita saksikan saja.
Salam hangat,
Hari Bagindo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H