Menyaksikan langsung, es sebesar bola baseball, menghujani wilayah Chiyoda, Jepang. Serta menatap gulungan angin topan hebat menghantam wilayah Los Angles, menjadi hal yang luar biasa! Hati lantas bertanya, apakah Bumi hari ini, besok, atau lusa akan baik-baik saja ya?
Sudah lama perubahan iklim menjadi sorotan Paleoclimatologist, asal USA yang bernama Jack Hall. Dia menunjukkan penelitiannya di Benua Antartika, lewat temuan jejak retakan es yang membelah Antartika menjadi dua bagian besar.
Dia benar-benar yakin, Bumi sedang mengalami pemanasan global, dan siap mencairkan kutub antartika. Dan hal itu berpotensi memberikan bencana dahsyat dalam waktu 100 tahunan lagi. Profesor Terry Rapson, dari pusat penelitian Iklim Hedland, Skotlandia, juga memiliki teori yang sama.
Namun ramalan sang Profesor bukan ratusan tahun lagi, bukan pula puluhan tahun. Prosesnya itu hanya menunggu hitungan hari saja? Besok atau lusa? The day after tommorow!
Ramalan atas teori-teori Prof Terry itupun sudah diinformasikan ke Jack Hall, memperkuat kesimpulan penting, segera membangunkan kesadaran publik, menyiapkan tindakan pencegahan perubahan iklim yang nyata.
Bermodalkan kesimpulan atas teori itu, Jack Hall menegaskan semua kemungkinan dampak buruk perubahan iklim tadi, di hadapan forum konferensi pemanasan Global, New Delhi.
Dimana, forum itu dihadari diplomat negara-negara dunia, termasuk hadirnya wakil Presiden USA. Namun, wakil President USA sendiri, tidak begitu yakin dengan semua teori Jack. Dan hanya memberikan respon dingin.
Dalam hitungan hari, semenjak persentasi konferensi dunia itu. Badai Superstrom, dengan suhu dibawah 101.1o, mampu menelan tiga helikopter RAF USA, membekukan bahan bakar dan awaknya, dan terjatuh Di Manahattan USA.
Pelan tapi pasti, Badai Superstrom menjalar membekukan seluruh kota New York dan wilayah Manahattan, yang sebelumnya tersapu badai Tsunami setinggi setengah patung Liberty. Kerusakan amat parah. Dan korban jutaan penduduk USA membeku mengenaskan! Ngeri ya?
NASA memotret bencana itu dari stasiun luar angkasa, dan menunjukkan belahan Bumi utara sudah tertutup es sempurna. Duh, Bumi sepertinya marah dan ingin mereset dirinya nol. Membeku tanpa ada lagi yang menggangu?
**
“Lantas, bagaimana jika es di kutub yang sebanyak itu mencair Bu,” Celetuk Andi, salah-seorang murid.
“Mengapa bisa begitu, Bumi kok bisa semakin panas?” Sambung Ramdi, murid lainnya.
“Apa yang harus kita lakukan, untuk meyelamatkan Bumi?” Pertanyaan lain menyerobot untuk dijawab pulak.
Aduh, saya ingat sekali ketiganya menjadi pertanyaan favorit siswa tingkat 6 Sekolah Dasar, setelah mereka diajak menyaksikan film fiksi,The Day After Tommorow itu. Eh Film yang dibintangi Denis Quaid, dan rilis di tahun 2004 itu ternyata berhasil mengoyakkan sisi emosi mereka.
Bagi saya pribadi, sebagai seorang guru sekolah dasar, film-film bergenre sci-fi, atau fiksi ilmiah, ternyata efektif mampu mudah memberikan pengertian, dan penjelesan tentang pelajaran, yang bertemakan lingkungan.
Dan berhasil memancing rasa penasaran peserta didik –generasi Z-, untuk menggali pertanyaan, tentang apa itu perubahan iklim, yang menjadi ancaman manusia kelak! Ini bagian yang bisa kupersembahkan untuk mendukung perubahan iklim itu!
Lantas, wawasan atas jawabannya –kuyakin- memberikan lompatan pengetahuan mereka dari porsi pembelajaran tema lingkungan yang biasa-biasa saja didapat di bangku SD. Harapannya agar mampu mencamkannya, dan lekas dibawa pulang dalam aktivitas sehari-hari.
Coba, mari kita bantu jawab pertanyaan-pertanyaan tadi dan mengkorelasikannya dengan penggalan cerita fiksi tadi? Dimana, sepertinya cerita di dalamnya mengandung kesamaan dengan visi penulis ceritanya, untuk melanjutkan perwujudan Net-Zero Emissions (NZE) dikerjakan bersama-sama!
Kunci jawaban pertanyaan pertama: Mencairnya es kutub, naiknya permukaan laut!
Generasi Milenial yang lebih tua dari generasi Z –siswa SD- bakal mudah kali menjawab pertanyaan ini? Dimana jika terjadi kenaikan permukaan laut, akibat lelehan es kutub, lambat-laun akan menenggelamkan pulau-pulau di bumi yang lebih rendah.
Wujud sederhananya adalah banjir robb di pesisir pantai pulau Jawa, yang –ada- berhasil menggeser beberapa wilayah daratan pesisir, menjadi wilayah perairan baru. Lantas. Yang paling hits, prediksi tenggelamnya kota Jakarta 10 tahun lagi? Namun ramalan itu kini mampu jua dibuktikan secara ilmiah jua, akhirnya.
Kunci jawaban pertanyaan kedua: Pemanasan global, dominasi karbonisasi kehidupan modern!
Perjanjian Paris 2015, yang menekankan Dekarbonisasi global, sudah menjadi bukti nyata atas keyakinan hadirnya proses pemanasan global itu nyata, dimana hal itu dikhawatirkan jua di dalam film itu kan?
Aktivitas industri global –terutama- negara maju, lewat bauran energi fosil mereka, masih diandalkan menggerakkan mesin-mesinnya hingga kini, dan meninggalkan jejak karbon , yang terperangkap di udara.
Sesederhana itu prosesnya? Namun dalam rentang 100 ribu tahun terakhir, menyebabkan bumi menjadi 4x lebih panas dari temperatur naturalnya, dan menjadikan tingkat suhu terpanasnya saat ini.
Kunci jawaban ketiga, bersama mendorong Dekarbonisasi, iyes zero-net emissions!
Momentumnya adalah, bagaimana semua kegiatan modern yang menjaja jejak karbon harus dikurangi dan bertahap dihilangkan!
Lantas, visualisasi yang terlihat dalam film itu, sudah menjadi doktrin positif generasi Z, memahamkan perubahan iklim kan? Dimulai dengan giat menjaga kebersihan dalam kelas, gemar bersahabat dengan tumbuhan dan binatang, sampai mampu mengolah sampahnya –memilah organik-anorganik- ke dalam bak sampah.
Ketiganya itu tanpa disadari, sedang berproses menanamkan esensi keberlanjutan, yang menjadi tuntutan pengelolaan SDA modern di masa depan.
***
Nah, karya seni, dewasa ini –memang- menjadi idola, dan layak dijadikan medium pembelajaran, terlebih meramu materi di masa Pandemi ini kan?
Dan beruntung bagi saya, semua bisa dipetik, dari filosofis karya-karya Solarpunk, yakni cara-cara pandang seni yang menggambarkan masa depan, dengan pendekatan yang lebih berkelanjutan. Hal tadi memang fiksi, namun memungkinkan terwujud, dengan hadirnya harapan atas kehadiran teknologi canggih ramah lingkungan serta energi terbarukan.
Di Indonesia memang terdengar belum akrab ya? Namun Banyak sekali inspirasi atas filosofis karya-karya Solarpunk, macam fiksi-fiksi spekulatif, yang mampu dikembangkan. Salah satunya karya fiksi kisah ekologis dan fantastis dalam dunia yang berkelanjutan. Sudah baca? Arsitektur Genre Solarpunk seperti Marina Bay sands Harbour Towers, sudah dikenal pula sebagai Amager Bake.
Fiksi Solarpunk, juga dapat dijumpai dari novel, cerita pendek, dan puisi berkonten masa depan. Solarpunk dalam konten-konten karyanya selalu melukiskan aktivitas manusia-manusia optimis mampu berdampingan secara lebih harmonis dengan lingkungan sekitarnya.
Dalam perkembangannya terkini, Solarpunk hadir dalam beragam medium karya, seperti sastra, seni rupa, arsitektur, mode, musik dan juga video game. Ikonografi Solarpunk, memiliki karakter kuat pada simbol energi terbarukan seperti tenaga surya, serta angin, yang pas dengan semangat dinamis generasi Z kini kan?
Tentang Generasi Z, harapan hadirnya sosok Jack Hall masa depan,fiksikah?
Indonesia memiliki ambisi menggapai Net-Zero Emissions di tahun 2060? Banyak sekali arah kebijakan yang akan menuntut pengabaian aktivitas yang padat karbon terjadi. Salah satunya, dalam aktivitas sektor energi yakni, penurunan intensitas energi, pengembangan energi baru dan terbarukan, penerapan standart kinerja energi minimum, serta kendaraan listrik berbasis baterai.
Duh. akan banyak kali rintangannya mewujudkannya? Mulai dari Pembiayaan, teknologi serta SDM yang handal. Dan –penting- juga kepedulian dan kesadaran manusia, yang mampu beradaptasi ke NZE, lewat penerapan produk-produk yang ramah-lingkungan.
Nah, mewujudkannya, saya pikir diperlukan sebuah imajinasi radikal generasi Z kini, yang akhirnya mampu linier dengan tindak-tanduk, guna menterjemahkan adaptasi perubahan iklim secara nyata.
Disadari atau tidak –memang- perubahan iklim akan membicarakan tema berat, bagi segmentasi anak sekolah dasar ya?
Namun bagi saya, sepuluh, duapuluh sampai tigapuluh tahun mendatang mau-tidakmau merekalah yang akan mewarisi Bumi ini, dan merasakan dampak yang sudah dan kita sedang kerjakan sekarang ini kan? Sehingga –idealnya- harus lahir generasi net-zero emissions, yang berhasil beradaptasi menjalani kehidupan net-zero emissions itu.
Saya begitu percaya mereka mampu melakukannya kok! Karena generasi Z diintrepetasikan sebagai generasi yang ambisius. Mahir dalam hal digital, percaya diri, dan selalu mempertanyakan ototritas, dan memiliki rasa penasasaran yang tinggi.
Dan Filosofi Solarpunk tadi akan mudah mendorong mereka lewat dua Filososfis pentingnya, yakni solar; terdorongnya cita-cita bumi yang telah komitmen dalam menggunakan energi terbarukan cahaya matahari. Dan Punk; beralihnya dari sistem ekonomi dan bisnis yang menyebabkan nilai ketidakberlajutan pada bumi.
Memang –sekali lagi- itu hanya Fiksi! Namun nilai filosofisnya sudah mampu menjadi inspirasi dan solusi respon perubahan iklim di USA. Dimana notabene generasi Z USA menyukai Genre fiksi ilmiah ini. Buktinya?
Pertama, Tren penggunaan panel surya di USA meningkat 22% selama 2020-2021 (Smeinc.com, April 2021)
Kedua, Konsep Eco-City telah digunakan dalam ilmu design arsitektur modern (sehinc.com, n.d)
Ketiga, Ide solarpunk berupa more is not better sebenarnya sudah termaktub dalam prinsip ESG (Economic, Social, dan Governance) yang menyajikan tututan nilai keberlanjutan eksploitasi SDA modern.
Artinya, efektivitas penerapannya, lambat-laun nyata mampu membuang jauh ketergantungan energi fosil, dan memungkinkan generasi Z melewati hal itu. Ya lewat adaptasi baru, dengan mencoba menggantungkan kehidupan kini, dengan energi matahari? Tindakannya?
Pertama, Mencabut alat listrik, jika tidak digunakan! Kedua, Mengkreasikan produk pencahayaan hemat energi dan tenaga surya! Ketiga, Berhemat air! Keempat, Mengupayakan pencahayaan ruangan dengan ventilasi terbuka, pencahayaan matahari! Kelima, Melepaskan ketergantungan mesin cuci, memanfaatkan penuh sinar matahari pada proses pengeringan cuciannya!
Kreasi pembelajaran lewat doktrin Solarpunk menggunakan medium kreasi seni, tentu akan mampu merangsang aktivitas mereka. Prosesnya tentu dengan mendorong pada aktivitas-aktivitas melihat, mendengarkan, membaca karya Solarpunk –apa saja-
Dan akhirnya memampukan mereka menuliskan apa-saja, guna menyampaikan aspirasi dan inspirasi yang terbentuk, dari sekumpulan harapan setelah melalu proses itu.
Ah Solarpunk memang terlalu indah dibayangkan, tetapi arah filosofinya kini telah diperjuangkan dalam prinsip-prinsip ESG mengelola Bumi lebih baik!
Yuk, para guru sejawat, terus berkreasi menyajikan pembelajaran penting perubahan iklim anak didik di masa mendatang, dengan medium –salahsatunya- karya seni Solarpunk! Bisa kok?
Dan harapan saya juga cara kita mengajarkan mata pelajaran IPS harus mulai condong ke arah lingkungan hidup, menurut saya,” kata Nadiem Makariem dalam sebuah video di akun IG Bamboo Foundation, Rabu (20/10/2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H