Lebih baik di sini, rumah kita sendiriiii.. segala nikmat dan anugrah yang kuasaaaa.  Semuanya  ada di sini. Rumah  kitaaaah..... Yeaaaaaa..!."
Mendengar dan menyanyikan secuil lagu rumah kita, milik God-Bless, menyeret kenangan kami sembilan tahun silam. Ketika menjalani perjuangan memiliki rumah sendiri melalui KPR BTN.
Perkenalan dengan BTN itu bermula di salah satu pusat perbelanjaan, ketika seorang agen pemasaran membagikan brosur perumahan dengan berbagai tipe. Tipe yang paling murah ya tentu saja tipe 36, luas tanahnya 84meter-persegi, rumah itu dihargai Rp 500-an juta.
Dalam brosurnya tertera skema pembiayaan floating, dapat dicicil 30 tahun. Kisaran cicilan Rp 4 jutaan per-bulan dengan asumsi bunga 8.75 %. Tapi, jika dilihat bunga normal yang berlaku pada saat itu bisa mencapai 12%. Pikiran yang terlintas, kok murah ya?
"Untuk yang tipe 36 itu, gaji minimal Rp 13 juta sudah bisa, pak," ujar seorang agen pemasarannya.
Tak mudah melupakan senyuman manis perempuan itu, bersama sktesa mimpi yang dikalungkan kepada saya, berupa harapan kepemilikan sebuah rumah. Bibir saya terkunci rapat, hanya mata saya memotret semua hal terkait spesifikasi beserta harga rumah yang tercetak rapi dalam selebaran brosur.
Saya tidak menahu, apa jua yang dipikirkan suami saya yang ikut 'terpapar' promosi pameran rumah saat itu. Saya duga, dia pasti lagi pusing akan membagi dan memutar biaya operasional rumah tangga, kalau-kalau kelak membeli rumah itu.
Suami saya sih diam saja, namun matanya tak berkedip menatap gambar rumah-rumah manis-minimalis, nampaknya dia 'iyes' tapi berat untuk berkomentar.
"Ya sudah, mbak, nanti saya hubungin mbak-nya, kalau berminat dengan harga itu," tutup saya, lalu melipat, memasukkan brosur tadi ke dalam tas saya dan bergegas pergi.
Kebetulan hari itu, bertepatan awal bulan. Kami berdua selalu berbelanja di pasar swalayan yang sama berada di Mall itu. Bertemu dengan mbak cantik tadi juga sebenarnya di luar rencana kami sih. Ya, namanya jodoh dengan rumah, mau gimana lagi?