Selama 10 tahun terakhir, Kabupaten Purwakarta dipimpin oleh Dedi Mulyadi. Jatuh bangun indeks kinerja, pasang surut intrik dan hilir mudik kontroversi tak elak menyertai kepemimpinannya yang mulai dikenal oleh khalayak, tak hanya Purwakarta, Jawa Barat bahkan Nasional berkat sosoknya yang nyentrik nan unik.
Sebagai seorang warga Purwakarta, saya nilai bahwa baik-buruk apa yang terjadi di Purwakarta menjadi amat krusial untuk diulas dan diketahui oleh masyarakat, terutama warga Jawa Barat.
Mengapa krusial, karena pertama, tak banyak media, public figure atau organisasi yang menulis tentang apa yang sebenarnya terjadi di Purwakarta.
Media masa dan media sosial sebagian besar menulis mengenai hal-hal tetek bengek seperti masyhurnya sate maranggi, ingar-bingar air mancur dan euforia festival yang memang menjadi primadona konsumsi warganet.
Kedua, seperti yang dilansir Kompas TV, Dedi Mulyadi menjadi calon ke-dua terpopuler setelah Ridwan Kamil dalam bursa pertarungan Pemilihan Gubernur Jawa Barat yang akan digelar di 2018, sehingga ulasan mengenai kinerjanya menjadi tajuk yang patut dibicarakan.
Dedi Mulyadi berhasil memunculkan branding diri sebagai seorang sosok yang lekat dengan kultur Sunda, sosok yang dekat dengan masyarakat akar rumput dan jauh dari gaya hidup mewah. Sosok yang akan menjadi konsumsi tepat untuk menyasar pasar pemilih Jawa Barat yang 55% merupakan masyarakat pedesaan dan memiliki keterikatan amat kuat dengan kedaerahan.
Sosok, kepribadian, gaya kepemimpinan tentu tak bisa menjadi indikator dan rekam jejak keberhasilan seorang kepala daerah dalam membangun daerahnya. Beberapa indikator pembangunan yang dapat diukur dan ditaksir secara kuantitatif perlu diulas.Â
Sebagaimana kita ketahui, banyak hal positif yang terjadi di Purwakarta selama dekade terakhir, terutama dari segi popularitas wilayah, kesejahteraan pegawai desa, angka putus sekolah serta tata kota yang terbilang lebih baik jika dibanding beberapa dekade ke belakang. Namun dalam ranah pengalokasian APBD, penataan transportasi kota serta penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, Purwakarta mengalami pasang surut, bahkan beberapa indikator menunjukkan 'nilai merah' dan perlu segera dibenahi:
1. Transportasi
Kemacetan di Kota Purwakarta sudah menjadi rutinitas yang dialami warga Purwakarta. Hampir tidak ada moda transportasi yang memadai yang dapat menghubungkan beberapa tempat vital di Purwakarta. Pun hampir tak pernah ditemukan adanya analisis atau hitung-hitungan mengenai berapa % rasio kendaraan/jalan atau jalan/jumlah penduduk di Purwakarta seperti yang dilakukan oleh Pemerintah DKI.
Kelaikan moda transportasipun menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera dibereskan oleh Pemkab. Kepala Dinas Perhubungan Purwakarta, Saepudin, kepada Purwakarta Pos menyatakan bahwa 70% angkutan umum yang ada di Purwakarta tidak laik jalan dan perlu pembenahan. Selain tidak laik jalan, kualitas jasa transportasi pun sangat mengecewakan, seperti seringnya angkot ugal-ugalan, overload, mengetem terlalu lama serta berhenti di sembarang tempat.
Di Purwakartapun tidak ada angkutan pemadu moda maupun sistem feeder untuk warga-warga yang tinggal lebih dari 10km dari perkotaan. Bagi warga yang tinggal di Desa Gandamekar, Plered misalnya. Untuk perjalanan pulang pergirumah-Pasar Jumaah atau Pasar Rebo Purwakarta (sejauh 15 Km), warga Plered Perlu menghabiskan ongkos Rp 34.000, menggunakan 3 jenis moda transportasi berbeda dengan waktu tempuh 1 jam 15 menit.
Tak ayal sebagian besar warga di wilayah sub urban memilih mencicil sepeda motor alih-alih menggunakan transportasi umum. Di sisi lain, Dedi Mulyadi melarang siswa menggunakan sepeda motor sebagai moda transportasi ke sekolah.
Voting bebas yang dilakukan teman saya di twitter berikut ini, menggambarkan hasil bahwa sebagian besar warganet merasa masalah transportasi di Purwakarta menjadi aspek yang perlu segera dibenahi.
Dari data yang dirilis pada "Purwakarta dalam Angka tahun 2016", per akhir 2015 masih ada sebanyak 15% jalan Kabupaten yang perlu dibenahi dengan kategori rusak hingga rusak berat dari total jalan Kabupaten sepanjang 728 Km. Jalan-jalan tersebut tersebar terutama di wilayah pedesaan seperti yang pernah saya kunjungi di wilayah Kecamatan Sukatani berikut ini yang sebagian besar masih berbatu dan hampir tidak dapat dilewati sepeda motor.
Untuk membenahi ini, Pemkab Purwakarta mengklaim telah menggelontorkan dana sebanyak Rp 1 Triliun pada pagu anggaran 2017.
3. Kemiskinan
Tak banyak berita yang melansir mengenai bagaimana sepak terjang Pemkab Purwakarta dalam menanggulangi kemiskinan secara terukur.Â
Dari data Badan Busat Statistik Kabupaten Purwakarta, indikator keberhasilan penanggulangan kemiskinan yang dilancarkan oleh Pemkab Purwakarta dapat diukur secara kuantitatif.
Bercermin dari data persentase penduduk miskin, nampaknya Kabupaten Purwakarta mengalami pasang surut dalam penanggulangan kemiskinan. Simak naik turunnya angka kemiskinan di Purwakarta selama 4 tahun terakhir dalam data BPS di bawah ini:
 4. Indeks Pembangunan Manusia & Indeks Kesehatan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat; pengetahuan, dan kehidupan yang layak.
Dari data BPS diketahui bahwa IPM Kabupaten Purwakarta mengalami kenaikan yang tidak terlalu signifikan jika dibandingkan Kabupaten Bekasi dan masih di bawah Jawa Barat secara keseluruhan. Simak datanya sebagai berikut:
***
Dalam masa-masa terakhirnya ini, Bupati Purwakarta tengah sibuk mempersiapkan hajatan besar 2018 nanti, plesir pra-kampanye kian gencar, jargon serta salam sapa basa-basi politik sudah luas tersebar, polling-polling serta survei semakin marak digelar.Â
Di tengah hiruk pikuk hajatannya, tentu bupati tak boleh abai terhadap pekerjaan rumah semasa periode kinerjanya ini. Suksesi dan pemindahan tampuk kepemimpinan harus diselenggarakan semulus dan se-transparan mungkin agar pekerjaan rumah ini bisa segera diselesaikan.
Di sisi lain, semoga warga Jawa Barat kian piawai dalam menilai siapa yang patut memimpin Jawa Barat lima tahun ke depan. Sosok, kepribadian, agama, kelompok, ras, golongan tentu tak bisa menjadi parameter yang dapat dijadikan acuan kuantitatif dalam menilai kinerja seorang kepala daerah.
Kita mungkin bukan pakar dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan indikator-indikator lainnya, namun dengan sedikit menelaah fakta dan data, kita mampu menaksir sejauh mana kecakapan pemimpin daerah dalam mengelola aparatur serta segala sumber daya yang dimiliki guna membangun daerahnya secara komprehensif serta tidak hanya mengedepankan popularitas semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H