Mohon tunggu...
Hari Akbar Muharam Syah
Hari Akbar Muharam Syah Mohon Tunggu... Auditor - Karyawan

Karyawan di Salah Satu Perusahaan Swasta Nasional. Menulis tentang Jalan-jalan, sosial dan sastra. Pendatang baru di dunia tulis-menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bumi Manusia, Roman tentang Kebangkitan dan Perlawanan

21 Mei 2017   10:22 Diperbarui: 21 Mei 2017   10:31 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nyai dan Minke seolah menjadi asing, karena jutaan penduduk Jawa lain -bahkan para pejabat tinggi rakyatnya-masih terbuai dalam keterjajahan.

Mereka masih sibuk dengan adat istiadat jawa yang sangat mereka junjung luhur dan terbuai oleh cerita kejayaan nenek moyang mereka, Raja-raja Jawa.
Kebanyakan petinggi dan pejabat justru masih sibuk dengan perselisihan sesama pribumi, pertentangan jabatan dan perebutan kekuasaan.

Buku ini menjabarkan dengan sangat apik bagaimana kehidupan di penghujung taun 1800an, bagaimana Minke, Anneilis dan pribumi jawa lainnya diperlakukan secara tidak adil di mata Hukum Belanda. Hukum dan keadilan yang kala itu hanya berlaku untuk kaum Kulit Putih.

Pramoedya piawai mengolah kata sehingga ketika kita sedang duduk di kursi membaca buku ini, pemikiran dan jiwa kita seolah ditarik sedemikian rupa ke akhir dekade 1800an.
Setiap detail setting dan penjabaran lini masa akan mempermudah imajinasi kita akan keadaan pada waktu itu. Ditambah dengan penciptaan karakter tokoh yang sangat kuat.

Di tengah masyarakat Jawa yang kala itu masih mengerdilkan peran seroang perempuan, Nyai Ontosoroh yang dipandang sebagai seorang pemandu hidup oleh minke muncul begitu kuatnya, begitu mempengaruhi setiap orang yang membaca detail kisah hidup Nyai.

Begitupun tokoh Minke yang pandai, piawai mencari siasat dan berani pun ditonjolkan di dalam buku ini, saat dimana Minke gusar, bingung, akan membuat kita ikut berfikir untuk mencari solusi untuk menyelesaikan setiap konfliknya.

Alur terkadang sangat lamban sehingga diperlukan kesabaran dalam membaca babak-demi babak, namun di beberapa bagian, ada kejutan-kejutan dalam setiap babak yang lambat ini, menjaga agar pembaca tetap fokus dan membuat roman ini tetap menarik.

Buku ini dikarang Pramoedya saat beliau diasingkan di Buru, meski ditulis dibalik jeruji pengasingan, namun keluasan makna dan keluwesan Pramoedya dalam meramu konflik dan tokohnya patut diapresiasi. Buku ini, bersama 3 buku tetralogi Buru lainnya mengantarkan Pram meraih lusinan penghargaan sastra dari seluruh dunia.

“Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun