Kehadiran Masjid di tengah masyarakat tak hanya menandakan kuatnya kehidupan religius dalam kelompok masyarakat tersebut. Dengan keragaman ornamen budaya dan arsitekturnya, masjid menjadi simbol berhasilnya sebuah proses akulturasi nilai keagamaan, sosial, budaya bahkan seni, tanpa menghilangkan prinsip dasar pembangunan masjid tersebut.
Akulturasi yang serasi itu masih dapat kita lihat di salah satu bangunan tertua di kabupaten Demak, yakni Masjid Agung Demak. Bangunan kokoh yang berdiri sejak tahun 1479 masehi ini mulai digagas pendiriannya saat Kesultanan Demak dipimpin oleh Raden Fatah.
Berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat, pembangunan masjid ini turut dibantu oleh para wali, karena kala itu Demak dinilai sebagai wilayah yang strategis dalam penyebaran agama Islam .
Pembangunan
Masjid ini dibangun sekitar tahun 1401 saka, atau setara dengan tahun 1479 masehi. Pembangunan Masjid Agung Demak dicanangkan saat kerajaan Demak menikmati masa-masa keemasaanya menaklukan hampir seluruh wilayah pesisir utara Jawa Tengah.
Titi mangsa pembangunan masjid ini tertuang dalam gambar bulus yang ada pada mihrab masjid. Gambar bulus tersebut melukiskan sebuah kepala yang berarti angka 1 (satu), 4 kaki berarti angka 4 (empat), badan yang membentuk angka 0 (nol), ekor bulus yang menyimbolkan angka 1 (satu).
Dari simbol-simbol inilah didapatkan angka kalender 1401 tahun saka, sebuah pertanda yang menyampaikan pesan bahwa masjid ini mulai dibangun pada tahun 1401 saka.
Sebagian besar konstruksi masjid terbuat dari kayu jati. Bangunan keseluruhan berukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi berukuran 31 m x 15 m. Masjid ini ditopang oleh kayu-kayu besar hasil penyatuan beberapa batang kayu yang diikat membentuk tiang silinder besar.
Pada awal pembangannya, masjid ini hanya beratap daun rumbiya dan bentuknya masih amat sederhana, bahkan berkembang legenda di tengah masyarakat bahwa pembangunan masjid ini hanya diselesaikan dalam satu malam saja berkat bantuan Para Wali, wallahu a'lam.
Masjid Agung Demak pernah mengalami sedikitnya 10 kali usaha perbaikan. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan pada tahun 1634 S (1710 M), Pakubuwono I memberi perintah untuk memperbaiki Masjid Agung Demak dan mengganti sirapnya.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, diadakan perbaikan terhadap Masjid Agung Demak antara lain dengan memperkuat tiang-tiang utama dengan jalan memberi pelapis kayu dan klem besi. Selanjutnya usaha-usaha perbaikan yang dilakukan pada abad XX.
Arsitektur
Kentalnya corak Nusantara terlihat dalam arsitektur Masjid Agung Demak. Berbeda dengan masjid-masjid tipe Persia atau Turki yang biasanya memiliki kubah besar, Masjid Agung Demak justru beratapkan limas khas rumah adat Jawa.
Atap tersebut bersusun tiga undakan, berbentuk segitiga sama kaki mirip dengan pura umat Hindu. Pada akhir undakan, terdapat ornamen besi berlafadz “Allah” berwarna perak gelap.
Di dalam ruangan, pengunjung dapat melihat 4 buah kayu besar yang menyangga atap masjid dengan begitu kokoh. Kayu-kayu besar bertulisakan nama 4 wali yang turut membangun dan memberikan pilar ini untuk Masjid Agung Demak.
Nama wali yang tercantum di tiang Sebelah tenggara adalah Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut merupakan sumbangan Sunan Kalijaga.
Langit-langit terbuat dari material kayu alam berwarna coklat mengkilap dihiasi lampu gantung gaya eropa yang begitu anggun. Lantainya terbuat dari pualam besar-besar berwarna gading yang ampuh menyerap panas.
Jamaah akan dengan betah berlama-lama di masjid ini, baik untuk beribadah atau hanya sekadar berlindung dari gersangnya udara Kota Demak.
Bagian lain yang tak kalah menarik adalah adanya jam matahari sebagai salah satu indikator pelaksanaan solat. Majunya ilmu pengetahuan terutama geografi dan astronomi menjadi tuntutan Islam kala itu, karena praktik ibadah umat Islam tak dapat dipisahkan dari komponen dua disiplin ilmu yang menyangkut waktu dan tata astronomi.
Meski sudah beberapa kali dipugar, bentuk asli masjid masih bertahan dan tak lekang oleh zaman. Masjid Demak menjadi bukti fisik yang dapat menuturkan kisah tentang bagaimana islam disebarkan, kisah tentang teguhnya para wali menyiarkan dakwah pada masyarakat jawa yang telah lama menganut agama leluhur.
Masjid Demak menjadi perpustakaan raksasa yang menyimpan kisah tentang berhasilnya Islam melakukan akulturasi dengan budaya sekitar, sehingga dapat diterima dengan baik dan terbuka oleh masyarakat, tentu tanpa menghilangkan sedikitpun nilai syariat yang terkandung dalam ajarannya.
Bagi anda yang sedang dalam perjalanan di sekitar pantai utara, tak ada salahnya singgah di Demak, melihat keagungan masjid ini dan melihat bagiamana indahnya perpaduan budaya antara Islam, Jawa dan Nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H