Di pihak Jepang, Letnan Takeo Nagatani didaulat oleh Bunken Kanrikan Miagi untuk meredakan pemberontakan. Nagatani dianggap sebagai seorang letnan yang cakap dan berpengalaman serta diperkirakan mampu menghadang serangan dari rakyat desa yang hanya berebekal senjata tradisional.
Ekspedisi penumpasan warga mulai dilancarkan, Pasukan Nagatani menyusuri wilayah Tayan hingga ke Meliau (Kini daerah Sanggau, Kalbar) menelusuri Sungai Embuan menuju Tanjak Mulung. Disana lah, perang terbuka diperkirakan akan pecah.
Belum sempat tiba di Meliau, pasukan Nagatani dihadang oleh kawanan pejuang yang sudah menanti untuk menghadang di daerah Umbuan Kunyil, Hulu Sungai Kapuas, masih setengah perjalanan menuju Meliau. Penghadangan ini dipimpin oleh Pang Suma, Pang Rati, Pang Iyo, dan Djampi. Pertempuran Pecah, dengan hunusan mandau, Nagatani tewas ditempat, sedangkan Pang Suma terkena luka tembakan di kaki bagian atas.
Meski dalam keadaan luka, Pang Suma menyerukan kepada semua Rakyat Dayak Desa untuk segera membentuk pertahanan dan menyelamatkan Meliau dari cengkraman Jepang yang semakin kebakaran janggut akibat kematian Letnan Nagatani. Dengan perjuangan gigih, dengan segenap pasukan bersenjatakan mandau, sumpit, tombak dan senapan tradisional, Meliau berhasil direbut pada 30 Juni 1945.
Hingga tanggal Juli 1945, Meliau masih dibawah kontrol rakyat Dayak Desa, hingga pada 17 Juli 1945, Pasukan Jepang merangsak masuk Meliau. Peperangan besar pecah di Meliau. Pang Suma memerintahkan agar Meliau dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Panglima adat dari desa lain seperti Panglima Ajun dan Pang Linggan turut membantu pergerakan Pang Suma.
Pang Suma gugur, Meliau jatuh ke tangan Jepang
Pertempuran antara pasukan Jepang dan rakyat Dayak Desa pun meluas ke Wilayah pelosok Meliau, dalam salah satu kesempatan konflik terbuka, Pang Suma tertembak pangkal paha kirinya, sementara banyak panglima adat lain tewas seketika dengan tembakan-tembakan yang dilepas pasukan militer Jepang. Tak lama kemudian, di sekitar Kantor Guntyo Meliau, Panglima Ajun dan Pang Linggan, panglima lain dari desa dayak sekitar Meliau turut tertembak dengan luka yang parah.
Kekuatan rakyat Dayak Desa nampaknya tak mampu bertahan lebih lama lagi, persenjataan yang tak sebanding membuat banyak rakyat Dayak yang gugur dalam pertempuran ini. Luka tembak Pang Suma pun nampaknya semakin parah, hingga akhirnya Pang Suma gugur tak tertolong.
Dalam situasi yang tidak menguntungkan ini, Panglima Kilat, panglima dari Jangkang, Sanggau berhasil menggerakkan seluruh sisa kekuatan dan menyampaikan pengumuman Perang Dayak Desa terhadap Jepang, menghabisi Jepang yang hendak menyakiti dan merebut kebebasan Rakyat Dayak Desa.
Meski di antara tanggal 17 Juli 1945 - 31 Agustus 1945 Meliau secara teritorial telah dikuasai oleh Jepang, namun masyarakat Dayak Desa tidak tinggal diam, kendati kelima panglima Dayak Desa telah gugur, dengan sisa-sisa semangat dan tenaga, rakyat Dayak Desa tetap mempertaruhkan jiwanya untuk kedaulatan hidupnya. Untuk membebaskan saudara dan anak cucunya dari cengkraman Pemerintah Kaisar Jepang.