Mohon tunggu...
Hari Akbar Muharam Syah
Hari Akbar Muharam Syah Mohon Tunggu... Auditor - Karyawan

Karyawan di Salah Satu Perusahaan Swasta Nasional. Menulis tentang Jalan-jalan, sosial dan sastra. Pendatang baru di dunia tulis-menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jalur Rempah : The Untold Story

25 Oktober 2015   22:07 Diperbarui: 30 Oktober 2015   16:58 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Lada yang dikonsumsi oleh Firaun ribuan tahun lalu ternyata berasal dari Banten”

Kalimat di atas merupakan salah satu fun fact yang dapat kita temukan dalam salah satu ruangan di Pameran Jalur Rempah Nusantara. Selama sepekan ini, dari tanggal 18-25 Oktober 2015, di Museum Nasional digelar pameran bertajuk Jalur Rempah : The Untold Story. Pameran yang diadakan oleh Kemendikbud, bekerjasama dengan Yayasan Bina Museum Nasional Indonesia ini merupakan salah satu acara untuk memeriahkan National Museum Week 2015.

Replika perahu yang bersandar di pelabuhan Banten, alat untuk mendistribusikan rempah dalam skala kecil (Dokumentasi Pribadi)

Sejarah rempah Nusantara banyak luput dari perhatian, padahal kemahsyuran rempah Nusantara sempat mengalami kejayaan pada masa kerajaan—kerajaan kuno tanah Air. Sekitar tahun 400an Masehi, seorang sastrawan India, Kalidasa menyebut istilah "Dvipantara" dalam salah satu karyanya, ‘Raghuvamsa’. Ia menyebut bahwa "Dvivantara: adalah kepulauan penghasil cengkeh dan rempah lain berkualitas super. Belakangan, para sejarawan memercayai “Dvipantara” adalah Nusantara atau Indonesia setelah merdeka.

Kronologi Sejarah Rempah Nusantara

Pameran jalur rempah ini disusun dengan begitu apik. Mengambil tempat di salah satu ruang pameran di gedung baru Museum Nasional, pameran ini akan membawa pengunjung kembali menggali lebih dalam mengenai seluk beluk sejarah rempah-rempah Nusantara, menyelami kembali kejayaan perdagangan peradaban kerajaan-kerajaan kuno dari zaman Hindu-Budha hingga kelamnya zaman kolonialisme.

Pengunjung akan dibawa ke dalam sebuah pameran yang beralur, ruangan demi ruangan disusun dengan tema-tema tertentu sesuai dengan kronologis sejarah di Indonesia. Sebelum memasuki ruangan demi ruangan tersebut, pengunjung berkesempatan menonton video berdurasi sekitar 5 menit yang menggambarkan mengenai asal-usul salah satu pelopor rempah Nusantara, Kapur Barus di Sumatera Utara. Dari sinilah cerita mengenai rempah berawal.

Di ruangan-ruangan selanjutnya, pengunjung akan diajak mengenali masing-masing potensi rempah di Tanah Jawa hingga Kepualauan Sunda Kecil. Pengunjung pertama-tama akan dibawa ke masa pendirian candi Borobudur yang salah satu reliefnya menggambarkan perdagangan rempah di sekitar Asia Tenggara. Kemudian ke ruangan yang menggambarkan Banten sebagai salah satu pelabuhan tua yang menjadikan rempah sebagai komoditas utamanya.

Lain Jawa lain Sumatera. Setelah puas menikmati alur sejarah rempah awal sejarah Tanah Jawa, pengunjung akan dibawa pada zaman keemasan kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Menurut salah satu guide yang mendampingi kami, era Sriwijaya merupakan masa kejayaan perdagangan rempah tanah air. Karena luasnya kekuasaan Sriwijaya, perdagangan rempahnya menjadi salah satu yang terpenting di dunia.

Ragam rempah asli Nusantara, pengunjung dapat mencium aroma rempah-rempah ini secara langsung (Dokumentasi Pribadi)

Sriwijaya sebagai kerajaan besar yang mengumpulkan rempah dari kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekuasaannya menjadikan kerajaan ini menjadi raksasa eksportir rempah pada zamannya. Di zaman ini pula pernah ada masa ketika harga cengkeh dan pala, salah satu jenis rempah yang tumbuh subur di Nusantara nilainya melebihi harga emas.

Masa selanjutnya adalah masa kejayaan raja-raja Jawa. Kerajaan Jawa baik Hindu maupun Islam menjadi salah satu kunci keberhasilan perdagangan rempah Nusantara. Kemahsyuran perdagangan rempah kerajaan-kerajaan ini menjadi salah satu daya tarik pedagang-pedagang India dan Arab untuk turut mencicipi segarnya rempah Nusantara, pun mereka berdagang dengan membawa pengaruh kebudayaan termasuk membawa pengaruh agama.

Banyak diantara pedagang-pedagang ini memiliki keahlian meramu makanan dan minyak wangi dari rempah-rempah. Masih menurut guide yang mengantar kami, di daerah Kuwait, banyak ahli-ahli parfum yang mampu meracik rempah Nusantara degan teknologi tinggi pada zaman itu, mengubah rempah menjadi parfum kelas atas yang dibandrol dengan harga yang amat tinggi.

Selain mengulas masa kejayaan Sriwijaya dan Kerajaan-Kerajaan Jawa, terdapat pula ruangan yang khusus mengulas mengenai ragam rempah Indonesia bagian timur. Kepulauan–kepulauan kecil seperti Flores, Tidore, Ternate, Halmahera dan Banda Neira menjadi surga tumbuh suburnya beberapa rempah primadona Nusantara seperti pala dan cengkeh. Rempah-rempah timur ini lah yang menjadi daya tarik bangsa – bangsa Eropa yang tamak untuk datang ke Tanah Air pada awal abad 16, bukan hanya untuk berdagang, namun untuk menguasai dan memonopoli jalur rempah dunia.

Jalur Rempah di Era Kolonialisme dan Kemerdekaan

Karena kemajuan ilmu kartografi, bengsa-bangsa Eropa seperti Portugis dan Belanda akhirnya berhasil menginjakkan kaki di Tanah Air. Pengarung samudera ini awalnya disambut baik sebagai mitra dagang, namun ternyata mereka bermaksud memonopoli. Rempah Nusantara terlalu menggiurkan untuk tidak dikuasai.

Masa kelam sejarah Indonesia pun dimulai,  keserakahan akan rempah ini menjadi pemicu Kerajaan Belanda bercokol dengan begitu betahnya di Nusantara, mengambil sebanyak mungkin sumber daya alam- tak hanya rempah- dari nusantara untuk dijadikan modal berperang atau hanya sekadar membangun kota-kota besar di tanah mereka di Eropa. Konon banyak biaya perang Belanda yang dimodali oleh hasil penjualan rempah-rempah dari Nusantara.

Gambaran perbudakan di salah satu perkebunan pada Era Kolonialisme (Dokumentasi Pribadi)

Ruangan kelam bersambung ke sebuah ruangan penghujung yang didekorasi dengan tampilan serba putih, melambangkan masa kelam itu sudah berakhir. Datanglah masa kemerdekaan! Dalam ruangan disediakan tv plasma berukuran besar yang menampilkan kilas balik perjuangan bangsa Indonesia hingga merdeka. Ditutup dengan pesan yang amat menggugah , “Quo Vadis rempah Indonesia?”. Tanah Indonesia sudah merdeka, hal ini menjadikan Indonesia sebagai pemilik penuh atas segala ragam rempah-rempah di dalamnya. Namun, kemanakah nasib rempah ini akan bermuara?

Mengapa Jalur Rempah, bukan Jalur Sutera?

Tajuk ini terpampang besar di salah satu pintu masuk pameran. Jalur sutera yang jauh lebih dikenal dalam ilmu sejarah ternyata hanya strategi negeri-negeri penghasil sutra seperti Tiongkok dalam upaya personal branding kekuatan komoditas ekonomi negaranya. Nyatanya, dalam jalur sutera ini, komoditas utama yang menjadi dambaan setiap pedagang, baik pedagang India, Asia Barat, Asia Kecil hingga Eropa bukanlah sutera, melainkan komoditas rempah. Dan salah satu rempah terbaik yang dijualbelikan dalam jalur yang dikenal dengan jalur sutera itu adalah rempah yang berasal dari kepulauan Nusantara.

Strategi ekonom-ekonom Tiongkok itu nyatanya berhasil menamai jalur utama perdagangan di awal abad masehi ini menjadi jalur sutera, mengantarkan Tiongkok menjadi salah satu pemain utama dalam percaturan jalur perdagangan ini. Nusantara kala itu, meski turut menjadi salah satu pemasok komoditas penting dalam jalur ini tak banyak disinggung.

 

Pameran ditutup dengan talkshow yang juga membahas mengenai Rempah Nusantara (Dokumentasi Pribadi)

****

Pameran jalur rempah ini menarik benak pengunjung untuk memutar waktu ke belakang, menelusri babak demi babak percaturan perdagangan rempah dunia dan kemahsyuran rempah Nusantara, untuk kemudian turut merenungkan dan memikirkan bagaimana kelanjutan cerita dan nasib komoditas rempah-rempah Indonesia tersebut.

Dapatkah Indonesia menamai kembali jalur sutera dengan nama jalur rempah dan melakukan self branding, bahwa kini, Indonesia masih menjadi produsen rempah yang termahsyur yang menghasilkan rempah dalam skala besar dan dengan kualitas mumpuni. Dapatkan rempah kembali menjadi Pesona Indoneisa, identitas dan komoditas bernilai tinggi sebagai penanda begitu kayanya Nusantara dan begitu piawainya bangsa ini mengolah sumber daya alamnya sendiri.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun