Sudah lama saya jatuh cinta dengan budaya Betawi. Masyarakatnya yang begitu terbuka dan ramah, riang namun tetap religius membuat semua hal yang berhubungan dengan budaya Betawi menjadi menarik bagi saya. Sudah lama saya menikmati lenong, tanjidor dan ondel-ondelserta pernak-pernik gaya bahasa orang Betawi dengan segala kesehariannya sejak sinetron Si Doel tayang di salah satu stasiun televisi nasional.
Tanpa membaca literatur saya sudah bisa mencium dengan kuat aroma multikultural yang begitu beragam dalam budaya Betawi. Arab, Tionghoa, India, Jawa dan tentu saja Sunda. Sebagai seorang yang berakar dari Sunda, saya melihat suatu kekerabatan Betawi-Sunda yang begitu dekat. Salah satunya tertuang dalam banyak unsur budaya Betawi yang sedikit banyak dipengaruhi unsur Sunda, begitu pula dengan bahasa dan ragam kulinernya. Unsur yang paling banyak dipengaruhi budaya Sunda dan bisa kita lihat secara kasat mata salah satunya pada unsur kesenian, baik itu seni tari, musik bahkan seni bela diri.
Semua sumber unsur kebudayaan itu teracik dalam sebuah wadah budaya Betawi yang mencerminkan keterbukaan dan toleransi. Semua berpadu padan dengan begitu lekat hingga menciptakan kebudayaan baru yang segar, tanpa menghilangkan keunikan unsur dari masing-masing budaya tersebut.
Berbicara mengenai kesenian Betawi, sejarahnya tak bisa dipisahkan dari seorang pemeran lenong bernama Nuri Sarinuri. Jika kita merasa asing mendengar nama itu, mungkin kita akan lebih mafhum saat mendengar nama Mpok Nori.
Almarhumah Mpok Nori merupakan anak dari seorang seniman lenong bernama H Kanen. Bersama saudara kandungnya, Alm. H. Nasir, Mpok Nori membangun citra dan mempromosikan kesenian Betawi melalui beragam bentuk kesenian seperti lenong, topeng, tanjidor, marawis, silat hingga ondel-ondel sejak belia. Saat itu Mpok Nori bergabung dalam sebuah grup dibawah asuhan H. Naih Jiun. Tak hanya mempromosikan dan membawakan, namun Mpok Nori juga hidup dari kesenian Betawi dan menjadi tulang punggung keluarga dengan penghasilan yang tentu sudah bisa dibayangkan kebersahajaannya.
Mpok Nori dan H. Nasir kerap harus menggotong sendiri alat-alat lenongnya ke lokasi pementasan karena keterbatasan transportasi. Keterbatasan serta masih minimnya apresiasi penikmat seni akan eksistensi seni budaya Betawi kala itu mungkin menjadi penghalang, namun Mpok Nori enggan menyerah. Meski sejak tahun 2006 Ia tak lagi ditemani oleh kakak kandungnya, Almarhum H Nasir, Mpok Nori dengan konsisten tetap menggeluti kesenian Betawi hingga berhasil membuat sebuah sanggar yang diberi nama Sanggar Sinar Noray.
Di Sanggar Sinar Noray, awalnya ia latih dan didik anggota-anggota keluarganya saja agar mampu turut melestarikan budaya Betawi. Cucu serta cicitnya piawai menarikan beragam tarian Betawi serta memerankan pementasan lenong. Kini, sanggar ini kian ramai dengan turut dibukanya sanggar untuk masyarakat umum yang hendak mengenal dan mempelajari budaya Betawi dengan lebih serius.
Cucu dan cicit Mpok Nori Mementaskan Tari Khas Betawi (Dok. Pribadi)
Tak hanya berhenti sebagai pemeran lenong dan penari, Mpok Nori juga merambah dunia peran di layar lebar. Sebut saja Si Ronda Macan Betawi, Bangkitnya si Pitung dan Get meried adalah film-film yang berhasil dibintangi Mpok Nori dengan tetap mempertahankan karakter pembawaannya yang lugas, bersuara keras namun tetap santun. Keberhasilan Mpok Nori di industri hiburan tanah air tak lepas dari peran H Ali Shahab yang mengangkat namanya lewat serial komedi Pepesan Kosong, serial komedi ini juga yang turut juga mempopulerkan nama H. Bolot dan Malih.