Mohon tunggu...
Hari Akbar Muharam Syah
Hari Akbar Muharam Syah Mohon Tunggu... Auditor - Karyawan

Karyawan di Salah Satu Perusahaan Swasta Nasional. Menulis tentang Jalan-jalan, sosial dan sastra. Pendatang baru di dunia tulis-menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kuantar ke Gerbang : Mengenal Soekarno Lewat Inggit

6 Juni 2015   07:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:20 1171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak buku yang mengulas tentang kisah hidup Soekarno sebagai tokoh politik. Namun sedikit diantaranya yang menguak kehidupan pribadinya bersama Istri keduanya, seoarang gadis Priangan bernama Inggit Garnasih. Adalah Ramadan KH, penulis yang piawai mengurai lembar demi lembar kisah yang sudah lama terpendam ini dan menghidupkannya kembali dalam sebuah roman tentang perjuangan Soekarno bersama Inggit Garnasih selama masa awal-awal perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, ‘Kuantar Ke Gerbang’.

Meski sarat akan fakta sejarah dan persitiwa yang betul-betul terjadi nyata, Ramadhan KH enggan menamai Roman ini sebagai buku sejarah, muatan kisah percintaan didalamnya membuat buku ini lebih humanis dan romantis. Roman ini disusun dari ungkapan langsung Ibu Inggit Garnasih selama wawancara pribadinyanya bersama Ramadhan. Pengungkapan ceritanya begitu menarik, berbobot namun tetap sederhana. Ramadhan berhasil membuat pembaca seolah tidak sedang membaca kata demi kata dalam setiap halaman buku ini, namun seperti sedang mendengarkan tuturan cerita naratif, langsung dari seorang Ibu Inggit Garnasih. Bahasanya begitu menggambarkan kesan yang keluar dari sosok perempuan yang amat menyayangi Soekarno dengan segala sikap lembut dan hormatnya.

Inggit menemani Soekarno dalam setiap babak perjuangan yang perih dan pahit. Selama dua puluh tahun menguatkan dan memberi banyak dedikasi untuk Soekarno baik secara spiritual maupun material. Meski Ibu Inggit belasan tahun usianya lebih tua dari Soekarno, Ia mampu menjadi istri sekaligus kawan Soekarno dalam masa-masa kelam dibalik penjara Banceuy dan Sukamiskin, ditengah pembuangan yang asing di Ende dan Bengkulu. Ibu Inggit tidak pernah mengeluh saat berada hampir satu dekade di pengasingan, bahkan ketika Inggit harus kehilangan Ibu kandungnya  sendiri yang turut dalam pengasingan di Ende, beliau masih tegar menemani Soekarno, Seperti pernyataan Inggit yang dikutip di Halaman 265: “Jangankan ke pembuangan, sekalipun ke dasar lautan aku pasti ikut. Kus jangan waswas mengenai itu. Jangan ragu akan kesetiaanku”

Berkali-kali Inggit menyatakan kebanggaannya kepada suaminya, Kusno (panggilan Inggit pada Soekarno), meski secara intelektual Ibu Inggit berbeda jauh sehingga Inggit tidak bisa dijadikan partner berdialog politik oleh Soekarno, namun Inggit senantiasa memberikan masukan yang matang nan bijaksana dalam setiap langkah pergerakan Soekarno. Dalam buku ini digambarkan bagaimana perjuangan Ibu Inggit menjual jamu, bedak serta berbagai hasil kerajinan buatannya sendiri untuk membiayai massa pergerakan. Ia tenggelamkan keinginan pribadinya dan selalu berfokus agar bagaimana pergerakan kemerdekaan Soekarno tidak padam hanya karena faktor ekonomi.

Ia berjualan untuk membiayai setiap pertemuan dan rapat besar yang sering diadakan di kediaman Soekarno di Bandung. Seperti kutipan dalam Buku ini di Hal. 46 : “Aku memberikan cinta, kehangatan, hormat, ketulusan. Aku tenggelamkan diriku pribadi, Aku hilangkan kepentinganku sendiri.” Ibu Inggit pula yang hampir setiap hari menyelundupkan buku, koran dan uang ke sel milik Soekarno saat Soekarno ditahan di Penjara Sukamiskin di Bandung. Hal ini membuat Soekarno yang terisolir dibalik tembok penjara itu mampu menyusun naskah Pledoi yang begitu terkenal “Indonesia menggungat”.

Kehidupan pernikahan Soekarno dan Inggit begitu harmonis, namun di usia pernikahannya yang menginjak dua dekade, Soekarno terpikat oleh Fatma, seorang gadis Bengkulu, muridnya sendiri yang sudah dianggap anak baik oleh Inggit maupun Soekarno. Saat Soekarno memohon untuk mengawini Fatma dengan alasan ingin memiliki keturunan, Inggit berusaha merelakan namun tetap bersikeras memegang prinsip dan janjinya untuk tidak dimadu. Pada akhir masa perjuangannnya, di depan pintu kemerdekaan, Inggit merelakan Soekarno menikmati impiannya menghirup bebasnya udara kemerdekaan bersama Fatmawati(Fatma). Pada tanggal 29 Februari 1942, Inggit resmi bercerai dari Soekarno dihadapan para saksi. Inggit dikembalikan lagi kepada H. Sanoesi (mantan suami Inggit) sebagai kerabatnya di Bandung. Dengan lapang, Inggit kembali ke Bandung dan memilih menjadi penonton saja atas manisnya kemerdekaan yang sempat ia perjuangkan bersama Soekarno.

Meski tidak memilih untuk dimadu  dan bisa saja Ibu Inggit memilih jalan untuk menjadi Ibu Negara, Inggit tetap bangga telah menemani Soekarno dalam masa-masa sulitnya dan mengantarkan Proklamator itu ke depan gerbang Kemerdekaan republik Indonesia. Inggit menyatakan dalam bukunya di Halaman 2: “Namun, pada suatu saat, setelah aku mengantarkannya sampai di gerbang apa yang jadi cita-citanya, berpisahlah kami, karena aku berpegang pada sesuatu yang berbenturan dengan keinginannya. Ia pun melanjutkan perjuangannya seperti yang tetap aku doakan. Aku tidak pernah berhenti mendoakannya

Ramadhan KH berhasil menyeret emosi pembaca, polesan karakter yang kuat ia tanamkan dalam setiap tokohnya, terutama Ibu Inggit, Ramadhan membangkitkan kembali spirit Inggit dalam buku ini, gaya tutur dan percakapan yang dimuat sangat ringkas namun mudah dipahami akan membawa pembaca mengalir begitu saja mengikuti setiap alur babak demi babak dalam rentang jalan kehidupan Inggit dan Soekarno dalam buku ini. Momen-momen pertemuan dan perpisahan Inggit dengan Soekarno begitu kuat digambarkan sangat emosional oleh Ramadhan. Sungguh roman feminim yang universal, roman yang menggambarkan tokoh Pejuang Indonesia dengan begitu halus dan emosional.

Dari sumber terpisah, saya mendapatkan informasi bahwa Ibu Inggit diberi Tanda Kehormatan ‘Satyalantjana Perintis Kemerdekaan’, yang dianugerahkan pada tanggal 17 Agustus 1961 ketika beliau masih hidup. Selain itu, Ibu Inggit dianugrahi Tanda Kehormatan 'Bintang Mahaputera Utama’ berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 073/TK/1997 tanggal 11 Agustus 1997, yang penyerahannya dilaksanakan pada tanggal 10 November 1997 di Istana Negara dan diterima oleh ahli warisnya yaitu Ibu Ratna Juami (Alm.). Penghargaan itu diterimanya sebagai jasa telah menemani Sang Singa Podium melewati masa-masa kelamnya di pengasingan dan di penjara. Penghargaan itu layak diberikan pada Inggit karena telah memberi andil bagi pergerakan kemerdekaan Negara ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun