Mohon tunggu...
Hari Akbar Muharam Syah
Hari Akbar Muharam Syah Mohon Tunggu... Auditor - Karyawan

Karyawan di Salah Satu Perusahaan Swasta Nasional. Menulis tentang Jalan-jalan, sosial dan sastra. Pendatang baru di dunia tulis-menulis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menyapa Ijen, si Eksotis dari Timur Jawa

31 Agustus 2014   08:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:01 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah kenapa sejak  kecil saya menggandrungi masalah kebumian, termasuk vulkanologi, bagi saya ilmu bumi itu paling mudah untuk membuat kita merasa menjadi makhluk kecil nan tak berdaya di mata Tuhan Yangmahakuasa. Itulah yang membuat saya beserta beberapa teman kantor sangat bersemangat untuk mengunjungi salah satu kawah termahsyur di antara kawah gunung berapi di dunia, Kawah Ijen. Kawah Ijen berada dalam kawasan konservasi alam nasional, areanya luas karena bergabung dengan kawasan konservasi Meranti dan Gunung Raung. Untuk mencapai kawasan ini, dibutuhkan tenaga serta usaha cukup ekstra. Pengunjung bisa mengambil start dari Situbondo maupun Banyuwangi. Karena lebih dekat, saya beserta rombongan memutuskan untuk mengambil rute dari Situbondo. Berjarak hanya sekitar 2 jam perjalanan dari Banyuwangi, pintu masuk ini menjadi pintu utama bagi para turis yang akan memasuki kawasan Ijen. Dari Situbondo, perjalanan dilanjutkan hingga ke desa Licin. Meski jalanannya sangat berliku dan terhitung kecil, namun pemandangannya menjanjikan. Dari atas bukit, kita akan dengan mudahnya kita melihat lampu-lampu sekitar pulau Bali sekaligus Selat Bali disebelah timur, megah! Dari Licin, pengunjung masih harus menyusuri jalan kecil menuju pos pemberhentian Paltuding, sepanjang perjalanan kita masih akan dimanjakan oleh pemandangan yang luar biasa, tentunya plus udara dingin menusuk kulit. Untuk mendapatkan pemandangan yang pecah se-pecah-pecahnya, waktu yang pas untuk mengunjungi Ijen adalah dini hari. Dari Paltuding ke puncak kawah, kita harus meneruskan perjalanan dengan tracking. Waktu itu kami tiba di Paltuding sekitar pukul 04.30 pagi. Menurut ilmu klimatologi, katanya jam segitulah titik terendah suhu harian bumi. Tidak heran ketika tiba disana, kami langsung disambut udara dingin yang luar biasa. Kata guidenya, suhunya sekitar 9-10 derajat celcius. Tapi dengan tracking, suhu dingin menjadi tak terasa. Perjalanan tracking memakan waktu hanya 90 menit (dengan jarak sekitar 3 Km), ini kalau normal. Karena waktu itu saya dan rombongan mengejar atraksi blue fire yang terkenal di ijen, jadi kami hanya memakan waktu 60 menit karena harus sampai sebelum fajar. Ranting gugur di sepanjang trek menuju Kawah membentuk pemandangan yang eksotis (Foto: Dokumentasi Pribadi) Sepanjang perjalanan menuju ke puncak, pengunjung akan disapa oleh anggunnya Bukit Meranti dan megahnya Gunung Raung serta bukit-bukit vulkanik kecil di sekelilingnya. Sungguh pemandangan yang membuat lutut kita lemas, breathtaking! Belum lagi ranting-ranting mati di sisi kanan kiri jalan yang membuat kesan autumn yang eksotis. Sekitar 2 Km pertama, perjalanan akan terasa sangat terjal karena medan yang dilalui memiliki kemiringan yang cukup ekstrem. Medan berpasir membuat sulit melangkah karena tekstur pasir yang siap menggelinitrkan mereka yang tidak memakai sepatu khusus tracking. Oleh karena itu saat mendaki Ijen, disarankan menggunakan sepatu tracking atau sandal gunung. Jangan sekali-kali memakai sandal jepit, akan sangat merepotkan. Setelah jalan yang sangat mendaki, 1 Km selanjutnya pengunjung akan menyusuri jalan yang agak landai dan bertekstur tanah vulkanis sehingga beban tidak begitu terasa.

image
image
Kiri : Bukit Meranti, Kanan: Gn Raung, Pemandangan sepanjang jalur tracking (Foto: Dokumentasi Pribadi) Kami tiba di puncak (sebenarnya bukan puncak, tapi hampir puncak: 2443 mdpl) sekitar pukul 5.30 dan sudah sangat terang, gunung ini berada di daerah paling Timur area GMT+7, artinya paling pertama disapa matahari, alhasil kami tidak bisa lihat blue fire. Blue fire sendiri merupakan penampakan api biru yang langka di dunia. Tercipta akibat pembakaran sulfur dan oksigen pada suhu sangat tinggi. Api biru dapat dilihat di sekitar dasar kawah, dekat dengan sumber asap belerang dan danau kawah. Alih-alih menikmati blue fire, kami hanya bisa menikmati sunrise. Tapi luar biasa sekali, perjuangan  lelahnya perjalanan terbayar sudah, bayarannya jauh lebih mahal, tak ternilai. Terbayar oleh sebuah pemandangan yang menakjubkan. Pemandangan yang memberi kesan kita sedang di planet ekstraterestrial, tempat yang seperti asing dalam ingatan. Sebuah pemadangan kawah yang memukau. Dari kejauhan di sebrang kawah, matahari  bersinar dari balik bukit memberikan sinar pagi yang soft, membuat clarity tidak terlalu tinggi namun menciptakan exposure dan detail bibir kawah yang bertekstur unik. Spectrum cahaya nya menyinari danau kawah terasam di dunia ini hingga danau kawah mengeluarkan warna turquois sempurna.
Pemandangan di Puncak Gunung Ijen (Foto: Dokumentasi Pribadi) Setelah puas (sebenarnya belum puas) melihat keajaiban pemandangan kawah Ijen, saya sempat berbincang dengan salah satu penambang belerang di sana, Kenapa? Karena banyak cerita unik di balik pencarian nafkah mereka. Penambangan belerang di kawah ijen sempat dikategorikan oleh BBC sebagai one of the most dangerous job in the world. Penambang harus memasuki celah kawah yang mengeluarkan gas sulfur yang mematikan, selain itu suhu disekitar area penambangan tidak cocok untuk manusia. Sulfur yang didapat dari bibir kawah ijen merupakan sulfur alami dari hasil letusan Ijen yang senantiasa keluar dari dalam perut bumi. Setiap hari, pemanen ini akan menyirami lubang tempat keluarnya sulfur hingga terbentuk bongkahan belerang padat yang nantinya akan dijual ke pengepul. Perjuangan tidak hanya sampai disana. Setelah ditambang, belerang harus diangkut ke pos pengiriman Paltidung yang berjarak sejauh 3 Km dengan jalan yang terjal. Sebanyak 80-90 Kg belerang mampu mereka angkut, bukan menggunakan gerobak atau sepeda, tetapi dengan pundak mereka, berjalan sejauh 3 Km, bukan jalan aspal, tapi jalan terjal yang bertekstur pasir membuat sulit untuk ditapaki. Usaha ini hanya dihargai sebesar Rp.600/kg belerang, itu artinya sekali mereka memikul belerang 100Kg sejauh 3 km, penambang ini hanya diupahi sebesar Rp60.000. Di beberapa titik penambang biasanya menjajakan hasil kerajinan belerangnya yang berbentuk unik, pengunjung bisa ikut berkontribusi dengan membeli souvenir yang dibuat para penambang. Menjadi semakin bersyukur atas semua yang sudah didapat, masih ada diluar sana insan yang mencari nafkah dengan cara yang lebih bersusah payah.
Penambang belerang (Foto: Dokumentasi Pribadi) Untuk yang suka hiking kategori sedang, Ijen sangat layak untuk dicoba, disamping itu, berinteraksi dengan penduduk dan penambang sekitar menjadi nilai tambah yang ditawarkan kawah Ijen. Sayangnya, trek menuju Ijen sudah mulai dipenuhi sampah hasil karya orang-orang bertangan jahil, diperparah dengan banyaknya corat-coret disekitar batu dan penunjuk arah, sangat disayangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun