Mohon tunggu...
hariadhi
hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Editor, designer, entrepreneur

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Kenangan Lama di Pasar Ikan Modern Muara Baru

7 Agustus 2019   04:59 Diperbarui: 7 Agustus 2019   05:08 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya Larasestu, atau akrab dipanggil Laras saja. Dulu saat masih aktif membangun komunitas GantiJakarta, ia beberapa kali terlibat dan membantu menulis konten. Setelah beberapa tahun menghilang, setelah bencana batuknya Gunung Kelud, ia menghilang. Terakhir kali dia update besarnya guncangan gempa dan abu vulkanik di mana-mana. Setelah itu ia menghilang... akunnya tidak pernah update lagi, blognya pun menghilang. 

Saya pikir dia tak selamat. 

Sampai beberapa waktu lalu, sebuah akun misterius bernama @ecocriticismeve beberapa kali memention saya. Beda dengan dulu, rambutnya yang panjang terurai kini dipotong sebahu. Kacamatanya juga sudah hilang, berganti contact lens. Saya nyaris tak mengenali Laras dengan nama samaran barunya. Namun kecantikannya belum luntur. Ya iyalah.. umurnya masih duapuluhan. Hahaha

Dari raut mukanya, dan kalimat-kalimatnya, saya langsung bisa menebak itu Laras. "Yuk, udah lama ga ketemu. Kangen. Hahaha," Goda saya. Ternyata Laras menyetujui ajakan kopdar dari saya. "Lama banget kita nggak ketemu, ayo keep up hahaha, besok ngobrol yang banyak ya pas ketemu." 

Akhirnya kami sepakat bertemu di event Big Questions Forumnya Mas Budiman Sudjatmiko di Gedung Cyber 1 tanggal 3 Agustus 2019. Selesai menikmati Casmadi usai acara, saya pun mengajaknya jalan-jalan ke pasar ikan baru di daerah Muara Baru, sekitaran Waduk Pluit. "Yuk, cobain ikan di sana!" Saya tidak terlalu surprise kalau Laras tidak ragu datang ke pasar becek dan bau ikan amis. Dari dulu ia perempuan petualang. 

dokpri
dokpri
Justru Laras mengaku kalau ia ke Jakarta juga berusaha lari dari beban stres pekerjaan dan ingin melihat sesuatu yang baru. Jadi dia oke saja dibawa ke tempat yang agak eksentrik seperti pasar ikan. "Kalau ke Pasar Ikan Muara Karang udah pernah, kalau Muara Baru ini belum," katanya. Baguslah, pikir saya. Karena Pasar Ikan Modern Muara Baru ini jauh lebih bersih dan rapi ketimbang pusat pelelangan ikan di Muara Karang. 

dokpri
dokpri
Pasar Ikan Modern Muara Baru memang jauh lebih bersih dan tertata. Selain karena memang baru dibangun, saluran airnya juga ditata rapi dan profesional. Sehingga memang kelihatannya jauh lebih modern dan bersih. Nyaris tidak ada genangan air becek karena semuanya masuk ke saluran air. Walau bau pesing dan amis tetap ada, namun tidak separah Muara Karang.

dokpri
dokpri
"Mau beli belut laut ga?" tanya saya. Laras mengangguk setuju saja. Lalu saya bertanya kepada pedangang sana, "Ada belut laut ga pak?" Si pedagang langsung menunjuk dengan bersemangat. "Oh belut laut ada tuh dua ekor? mau?" tanyanya.

Saya meminta sekilo saja karena memang kami hanya akan makan berdua. Cukup Rp 30 ribuan, dua ekor belut besar sudah di tangan. Selanjutnya Laras mengatakan ia kangen dengan cumi.

Maka kami pun segera menawar cumi. Ternyata sedang murah-murahnya, sehingga dengan Rp 40 ribuan saja, kami sudah dapat lagi sekilo cumi. Lumayan, pikir saya, karena cumi yang enak kalau sedang langka bisa mahal sekali. Iseng, Laras bertanya, "di sini ada Gurita ga ya?" Saya tertawa. gurita memang jarang tertangkap.

Dan kalau memasaknya salah, baunya tidak enak dan getas seperti karet. Untuk urusan rasa setelah dimasak, cumi masih pilihan terbaik.

dokpri
dokpri
Sempat tersesat saat menuju lantai atas, akhirnya kami sampai di food court, sebutan untuk tempat pemanggangan ikan yang ditata mirip pujasera. Lagi-lagi beda dengan Muara Karang, di sini tempat pembakarannya sangat bersih dan tertata rapi. Cukup dengan Rp 25.000 per kilogramnya, kami bisa menikmati kedua jenis makanan laut yang sudah dipesan tadi.

dokpri
dokpri
"Enak, tapi bener ya banyak tulang halusnya?" Tanya Laras mengkonfirmasi. Saya lalu bercerita pengalaman mendapat belut laut serupa di Sabang, Aceh. "Itu kalau ga hati-hati, bisa tiba-tiba loncat dan gigit jari kita sampai putus," kata saya bercerita. "Di Sabang, karena berhadapan langsung dengan laut, berbagai ikan enak dan seafood lainnya bisa ditangkap dengan ukuran sangat besar." saya bercerita bagaimana dulu pernah diberikan Gurita ukuran 3 kilogram hasil menombak pemuda sekitar. 

Saya dan Laras ngobrol ngalor ngidul sampai agak larut. Mulai dari soal hubungan dengan pasangan, selera makan, hingga ide kami untuk bikin trip murah meriah suatu saat nanti. Mukanya berbinar-binar saat saya ceritakan bahwa ada cara berkeliling dunia yang mudah, yaitu dengan menumpang kapal cargo. Ia menyatakan akan mencobanya suatu saat nanti. 

Dan akhirnya kantuk pun tidak tertahankan. Bagaimanapun, sebagai lelaki bertanggung jawab, saya harus mengantar Laras pulang ke Jakarta Barat yang lumayan jauh. Pukul 10:30 malam, ia kemudian sampai di dekat rumah dan melanjutkan naik ojek, sementara saya mencari-cari airy yang cukup murah di sekitar sana.

Malam berlalu, dan impian perjalanan kami sepertinya tak lama lagi akan terwujud. Kenangan lama, sudah tersua kembali. 

Saya tersenyum lebar menatap langit malam...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun