Saat mendengar kata Pekalongan, apa yang kita pikirkan? Pastinya batik!
Banyak yang menyangsikan apakah Pekalongan akan bertahan sebagai salah satu penghasil batik ternama di Indonesia, terutama oleh gempuran batik printing dari China dan Jalan Tol Jawa yang kini sudah rampung dan membuat banyak orang tidak lagi singgah di Pekalongan karena waktu tempuh Jakarta -- Surabaya yang kini hanya 12 jaman.
Tapi saya mendapat cerita lain...
Dini hari setelah sampai dari perjalanan kereta dari Cirebon, saya dan Tommy minta diantarkan ojek dari Stasiun terdekat ke hotel yang murah-meriah. Saya tanya hotel mana yang mereka rekomendasikan untuk paginya bisa jalan ke lokasi pengrajin batik? Mereka menjawab, "Hotel Alegria saja mas!"
Toh walau kemudian saya agak menyesal mengikuti saran ini karena sebenarnya jauh dari pusat pengrajin batik, tapi saya merasa hotel ini cukup nyaman dengan kisaran harga Rp 200 ribuan. Tidak ada air hangat memang, namun tempatnya cukup artistik dan suasananya sangat nyaman. Pelayanannya juga sangat bagus. Walau kami tidak memesan sarapan berbiaya ekstra, Â tetap saja di pagi hari diberikan nasi gudeg.
Pagi hari, seperti biasa, saya bangun lebih awal dan Tommy masih ngorok. Menyapa warga sekitar, saya kembali memetakan berbagai UMKM di sekitar hotel. Tujuannya agar saat turis mancanegara berkunjung, mereka bisa memesan layanan dari UMKM dan warung-warung di sekitar.
Dan di pojokan jalan, saya beruntung bisa menemui penjaja jajanan tradisional. Ada kue putu ayu, wajik, ketan, dan sebagainya. Cukup untuk mengisi pagi bersama teh hangat. Agar makin meriah, saya buatkan kuis di media sosial yang langsung ramai tebak-tebakan nama jajanan pasar. Padahal saya sendiri tidak hapal semua namanya, hehehe.
Menjelang siang, saya kembali tidur, dan Tommy membangunkan. "Ayo checkout! Katanya mau lihat pusat pengrajin batik.." Katanya mengingatkan. "Ooo iya." Saya agak jetlag karena sebenarnya susah tidur karena ngoroknya Tommy, hehehe. Jadi tidur menjelang siang ini kesempatan untuk bisa sedikit lebih pulas.
Surprise, selain batik cetak dan tulis yang selama ini popular, ternyata Pekalongan sendiri sudah mulai bisa memproduksi batik printing dengan warna dan motif menarik. Ibu Lis, salah satu penjual di sana tampak dengan santai duduk, hanya melayani 2 orang pembeli. "Sepi amat ya?" pikir saya. Saya merasa harusnya untuk sebuah pusat grosir, tempat ini terlalu sepi.
Ternyata rahasianya, walaupun terlihat bukan gadget savvy, Ibu Lis memanfaatkan aplikasi online Whatsapp dan Telegram untuk bisa melayani pembelinya. "Ga bikin tambah rame sih. Dari dulu juga udah rame! Cuma sekarang bisa duduk lebih santai," ia tertawa. "Kalau dari Jakarta, kan sudah pesan dari dulu, sejak masih ada Pak Haji." Katanya.
Walau gagal menemukan sate KTL, singkatan dari alat kelamin sapi jantan, kami berjalan ke pusat kota dan mencari soto tauto. "Soto biasa, tapi diberi bumbu tauco," kata Pak Supir. Namun dia menjamin yang di Warung Pak Haji Rochmani ini yang paling enak se Pekalongan. Tentu kami tertarik untuk mencoba.
Tapi yang jelas saya sampai nambah. "Enak banget Tom, worth it lah nyari sampe sejauh ini!" kata saya. Tommy setuju dan kami pun mencoba bertanya harga seporsinya. "Harganya Cuma Rp 20 ribu semangkuk," kata penjualnya. Malu-malu saat diwawancara, ia mengaku di sini sudah lama dan meneruskan usaha keluarga.
Kenyang makan soto, kami leyeh-leyeh di alun-alun Kota Pekalongan. Menjelang sore, perut sudah lapar lagi.
Maka saya tertarik mencoba Sego Megono yang sebenarnya juga tersedia di seluruh sudut kota Pekalongan, seperti halnya Sego Lengko di Cirebon. Bedanya Sego Megono adalah nasi yang diberi semacam sayur urap dari potongan nangka muda mentah.
Nangka ini kemudian dicampurkan dengan parutan kelapa. Ya jadinya mirip urap. Lalu lauknya boleh dipilih, bebek, ayam, atau ikan lele. Saya pilih lele supaya tetap sehat.
Luar biasa....
Duduk di gerbong restorasi yang kini rapi dan enak dipakai nongkrong karena suasananya mirip kafe kecil, saya bisa menyelesaikan pekerjaan itu dalam 1,5 jam saja. Sambil bekerja, saya memesan kopi susu dan nasi krengseng sapi, yang nikmat sekali.
Jauh berbeda dengan makanan restorasi zaman dulu yang dijauhi karena tidak enak dan dipersepsikan jorok. Kini makanan di restorasi lengkap bervariasi, bersih, dan kemasannya menarik
 Bahkan bila kecewa dengan layanan restorasi KA, kita cukup melakukan scanning QRCode yang tersedia di kemasan, maka browser smartphone kita akan diarahkan ke layanan komplain digital. Sangat inovatif walaupun idenya tetap sederhana dan mudah dipahami.
Sisanya saya mengajak ngobrol seorang perempuan cantik yang membawa anaknya menikmati perjalanan kereta ke Semarang. Beberapa kali anaknya tertarik melihat video yang sedang saya edit.
Dan malam pun mengantarkan kami terhanyut dalam perjalanan menuju Semarang....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H