Sebenarnya tidak ada niat saya bertemu dengan Mas Budiman Sudjatmiko dalam event Big Questions Forum bersama komunitas Inovator 4.0 Chapter Semarang.
Niat saya dan Tommy Bernadus, pemilik akun BaciritaID, hanya menikmati perjalanan darat singkat dari Jakarta ke Cirebon. Karena sebenarnya hanya punya uang sekitar Rp 2 juta, maka kami pun memutuskan naik bus.
Saya berpikir ke Cirebon yang agak jauh akan mahal. Ajaibnya, malam itu tiket bus AC eksekutif ke sana hanya Rp 80 ribu dari awalnya saya perkirakan Rp 150 ribuan, sebab waktu dicek di kereta api, segitulah kira-kira harga tiketnya.
Karena tidak diburu waktu, kami menyempatkan dulu makan nasi Padang di kedai Uda Denai yang tertata rapi di terminal. Di etalasenya tertulis Rp 10 ribu.
Saya sangsi, paling-paling hanya gimmic marketing supaya banyak orang beli. Tapi setelah saya tanya memang ada menu seharga Rp 10 ribuan di sana. Bayangkan untuk seporsi nasi padang Cuma keluar selembar uang yang termasuk receh.
"Ikan panggang ciek, tunjang ciek," pesan saya dengan semangat, karena kalap. Haha. Tommy juga memesan menu serupa, nambah nasi pula. Masih pesan masing-masing segelas es teh manis. Segar alhamdulillah. Saya sudah menyiapkan uang ratusan ribu. Biasanya kalau sudah kalap begini, di rumah padang biasanya dipakuak, sebuah istilah dalam Bahasa Minang artinya harganya dibuat melejit.
Tapi ternyata Rp 60 ribuan saja, alias Rp 30 ribuan untuk masing-masing lauk yang kami pesan plus minuman segar. Sebuah harga yang sangat murah untuk bandara, eh, terminal semewah ini.
Kondisi Terminal Pulogebang indah luar biasa, jauh dari stereotype kita mengenai terminal bus selama ini. Lantainya bersih mengkilap, tidak ada bau pesing, toiletnya pun seperti toilet mal.
Tempat pembelian tiket juga tertata rapi dan pakai sistem serba elektronik. Bisa pesan lewat aplikasi mobile juga. Untuk yang mau salat, musalanya sangat lapang dan besar. Karpetnya wangi. Beberapa kali saya perhatikan, bule-bule lalu lalang di terminal ini sambil melihat-lihat suvenir di toko oleh-oleh yang tersedia.Â
Kelar 5 menit saja membeli tiket, kami memasuki bagian "boarding". Seperti juga layaknya di bandara, di sini harus diperiksa dan lewat gate dulu. Kemudian bayar semacam airport tax dengan harga murah meriah, barulah kita dipersilakan menunggu di lantai paling atas.
Walaupun sebenarnya fungsinya tidak terlalu banyak, karena bus berbeda dengan pesawat yang harus menunggu proses landing, taxiing, cek tiket, boarding, dan take off. Bus jauh lebih praktis, begitu kami sampai di lantai atas, kami tinggal naik dan merebahkan di kursi bus eksekutif nan empuk.
Tak sampai setengah jam, bus sudah jalan. Kalau dibandingkan dengan kenyamanan pesawat, ya kurang lebih sama saja. Bahkan jarak antar kakinya pun bisa dibandingkan dengan pesawat garuda atau batik.
Merokok? Bebas di ruang belakang. Toilet pun kalau kebetulan bertemu yang ada fasilitasnya, bebas digunakan. Hidupkan handphone dan berselfie ria selama perjalanan? Jelas kemewahan yang sulit ditemukan di pesawat...
Mungkin kelemahan yang sulit ditemukan di bus adalah ketiadaan pramugari. Namun sebagai lelaki yang tidak punya kebiasaan jelalatan, tak ada masalah bagi saya kalau harus menghabiskan waktu ngobrol berdua dengan bapak tua di sebelah saya.
Kurang lebih 3,5 jam, kami sudah masuk di Kota Cirebon. Kami diturunkan di dekat terminal, dan agak celingak-celinguk mencari penginapan bagus.
Setelah menikmati susu hangat di  warteg, kami bertanya kepada ojek di sekitar. Mereka setuju mengantarkan dengan uang Rp 20 ribu saja.
Sampailah kami di Hotel Sapadia. Hanya Rp 300ribuan, sudah dapat fasilitas air hangat, AC yang dingin, dan kasur double, sehingga saya tak perlu khawatir dituduh teman tidur seranjangnya Tommy, hahaha.
Tommy dan saya punya siklus biologis agak beda. Saya suka menikmati cahaya pagi di tempat tujuan, lalu tidur kembali beberapa jam menjelang checkout. Tommy lebih senang tidur hingga agak siang, lalu berjalan-jalan siangnya.
Maka setelah dia Cuma menjawab "hmmm.." sambil meneruskan ngoroknya, saya memutuskan turun pukul 5:30 pagi. "Sudah ada sarapan, Mba?" tanya saya kepada waitress yang masih berbenah di restoran. "Silakan pak, sudah ada nasi, lauk, sereal, dan roti," jawabnya.
Saya ingat senyumnya manis sekali. Mojang Jawa Barat memang selalu cantik, manis, dan ramah.
Banyak sekali warung-warung yang tidak terdata di sekitaran hotel, sebuah kerugian bagi kita karena wisatawan asing tentunya akan mengandalkan google map saat berkunjung ke negara ini dan ingin memesan makanan.
Sesampai di SPBU Jalan Kesambi, saya terpaksa membatalkan niat sarapan sehat buah-buahan di hotel tadi. Aroma Empal Gentong Kang Mail.
Dari penampilannya tidak terlalu meyakinkan, hanya sebuah pondok kecil dengan atap seng berkarat. Bagian dalamnya pun remang-remang. Namun keraguan saya terjawab saat ia membuka tutup empalnya. Bau harum menyeruak.
Tentu saja kolesterol dan lemaknya tinggi, yang sudah saya antisipasi dengan berjalan kaki sekira 1,5 kilometer dari dan menuju hotel.
Dan saya memilih tidak pakai nasi. Tapi tetap saja rasanya nikmat dan kenyang.
Kembali ke hotel, Tommy sudah bangun dan giliran dia yang berkeliling sekitar hotel sambil sarapan, sementara saya tidur kembali sebelum waktunya check out. Di tengah-tengah tidur, Tommy mengingatkan saya "Yuk udah jam 12, checkout."
Nasi Jamblang yang Luar Biasa Sedapnya
dokpri
Saat checkout, lagi-lagi saya menemukan perempuan Cirebon dengan senyum manis.
Kami pun bertanya, di mana tempat makan siang yang enak di Cirebon. "Coba nasi Jamblang Bu Nur," jawabnya dengan ramah, "Ga jauh dari sini, bisa pakai Taksi Online atau Ojol" sarannya lagi dengan memberi  informasi.
"Itu yang paling enak di Cirebon?" Saya berusaha meyakinkan diri.
"Iya, paling ramai kalau siang hari." Jawabnya pasti.
Saya dan Tommy senang, karena ternyata layanan taksi dan ojek online hadir di Cirebon, sehingga memungkinkan backpacker seperti kami berkeliling agak jauh tanpa terbebani biaya mahal. "Coba tadi malam kita pesan taksi online aja seturun dari bus," kata saya, Tommy tertawa.
Tak sampai 10 menit, kami sudah sampai di Nasi Jamblang Bu Nur. Tanpa sengaja saya bertemu teman lama di Rotary, Idfi Pancani yang juga terkenal sebagai traveler.
Nah kalau traveler ternama saja makan siang di sini, pastinya ini memang tempat yang recommended, pikir saya. Setelah bertukar sapa sebentar, Idfi kembali ke hotel dan saya masuk ke Nasi Jamblang Bu Nur
Di dalam, saya membuktikan sendiri bahwa tempat tersebut memang penuh sekali! Bergaya prasmanan, kita bisa memilih lauk apapun yang disukai, mulai dari daging empal, sate, ikan, udang, hingga jengkol. "Lu ke Cirebon cobain dong udangnya," saran Tommy.
Setuju sekali, saya langung menyikat udang yang sudah tinggal sedikit. Ditambah jengkol dan beberapa perintilan sayur-sayuran lalap, Tommy mengambil daging.
Seperti juga makan di Terminal Pulogebang sehari sebelumnya, makan di sini cukup murah. Berdua, dengan minum teh hangat dan es teh manis kami hanya terkena biaya Rp 50 ribuan, artinya hanya Rp 25 ribuan seporsi, sama sekali tidak rugi!
Karena penuh luar biasa, kami kebagian tempat di lantai atas. Lumayan ada kursi sisa dan colokan letaknya di dekat meja. Sambil mengisi powerbank dan baterai smartphone, kami menikmati nasi jamblang.
Enak sekali.. hampir saya ingin nambah lagi kalau tidak ingat tadi pagi sudah puas makan empal gentong Kang Mail yang penuh lemak dan kolesterol. Masa sekarang makan udang mesti nambah lagi, hehehe.
Walau Cuma sempat mencicipi cold brew dan sushi rebonnya, namun saya merekomendasikan tempat ini untuk nongkrong karena suasananya cukup privat dan interiornya rapi sekali.
"Duit sisa banyak, santai Tom. Hehehe" Tommy pun tertawa. Dari Rp 2 juta yang kami miliki di kantong, baru sedikit yang terpakai untuk tiket bus, hotel, dan makan-makan enak. Foto-fotonya membuat iri seisi timeline. Mereka jadi ikut ngiri ingin merasakan empal gentong Kang Mail dan Nasi Jamblang Bu Nur.
Maka saat malam menjelang, kami pun berjalan ke Stasiun, lagi-lagi naik taksi online. Di sana saya kembali lapar karena kebetulan cuaca Cirebon agak sejuk. "Cari makanan khas sini, yuk Tom," Tommy mengangguk setuju, "Tuh ada sego lengko," tunjuknya ke seberang stasiun.
Dengan sedikit potongan kecil tempe, tahu, tauge, acar timun, dan kucai (semacam daun bawang), lalu disiram dengan kuah kacang. Aromanya mirip tauge goreng di Jakarta. Hanya saja ini disajikan langsung dengan nasi, alih-alih lontong. Kucainya saat dikunyah memberikan aroma harum dan menggugah selera. Harganya? Murah abis... Namanya juga Cuma pake tempe dan tahu.
Lagi-lagi saya menemukan keramahan khas Cirebon. "Coworking space ini tersedia di 9 stasiun besar KAI, Pak" Jawabnya dengan tersenyum.
Ia juga mempersilakan saya mengambil minuman hangat yang tersedia. "Ini bayar mas?" Tanya saya tidak percaya. Ia tersenyum dan mempersilakan saya mengambil sesukanya.
Menjelang pukul 10:00 malam, kereta yang kami tunggu datang. Hanya Rp 100an ribu ke Pekalongan. Dan perjalanan dengan kursi empuk di gerbong eksekutif sudah menunggu kami menuju ke Pekalongan. Termasuk mencoba bakso restorasi yang ngehits dan viral itu!
Silakan tunggu petualangan jalur darat kami di artikel selanjutnya, ya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H