Sebagai manusia, suatu saat Ahok harus pensiun. Maka selain nilai-nilai Bersih Transparan dan Profesionalnya Ahok, kita juga harus memikirkan bagaimana harus ada penerus politikus muda yang juga menghadapi problem zamannya sendiri. Layaknya kita mengagumi Soekarno, tapi menghadirkan seorang Soekarno hari ini sebagai pemimpin, jelas tidak akan menjawab persoalan.
Rian Ernest setuju, baginya Ahok bagaimanapun adalah panutan yang keren, yang nilai-nilainya, keprofesionalannya, ketegasannya harus ditiru. Tapi menjadi politikus penerus Ahok, baginya bukanlah berarti harus menjadi copy cat seorang Ahok. "Gue punya perjuangan gue sendiri, cara gue sendiri," katanya.
Jadi apa perjuangan Rian Ernest? "Perbaikan dalam penegakan hukum," katanya. Dan fokusnya adalah polisi, sebagai tombak utama hukum dalam bermasarakat.
Namun seperti juga Ahok, ia beranggapan, tak mungkin juga berharap bisa menuntut orang jujur, transparan, dan profesional, kalau kebutuhan hidupnya saja belum dipenuhi, perutnya masih kelaparan, anaknya masih harus disekolahkan. Ia mengungkapkan begitu menyedihkannya kehidupan polisi yang harus menertibkan kita semua. "Dulu ada yang gaji pokoknya saja Rp 2,5 juta," Kami bertiga tertawa. Saya bilang "Lah fresh graduate dapat gaji UMR 3-4 juta saja masih cari sabetan di luar karena masih ga cukup."
"Lah iya bos," Kata Rian. "Sebagai manusia biasa, semua juga pasti pengen ngopi di tempat keren, ngobrol sama teman-teman kongkow. Pengen kasi rumah yang proper buat keluarganya. Pengen anaknya nanti sekolah yang tinggi dan keren." Saya mengiyakan. Tapi... "Tapi pake duit halal lho ya..." Sergahnya sebelum saya menyimpulkan bahwa itu semua kan justru mendorong orang bertindak koruptif.
Bagi Rian, bahkan memberi gaji dan tunjangan layak pun belum cukup. "Mereka yang bekerja sebagai polisi harus dibuatkan sistem yang benar-benar menerapkan meritrokrasi. Ini sulit, bahkan di luar negeri pun masih seperti itu. Kalau ada satu angkatan atau satu daerah atau satu alumni yang naik, dia akan berusaha menarik teman-teman lainnya ikut naik. Ini jadi problem buat meritrokrasi, karena harusnya yang kerja keras dan beprestasilah yang dapat kesempatan naik jabatan. Bukan karena kenal si sini si itu."
Lepas dari bayang-bayang Ahok, menjadi seorang Rian Ernest, bukanlah hal mudah. "Ga semua orang bisa didatangi, kenal, suka, lalu ingat untuk memilih! Ada yang baru salaman dan kenalan lima menit sama gw aja abis itu ditanya siapa nama gue aja lupa!" katanya terkekeh. Ya benar, saat ini sistem pencoblosan yang kita terapkan sangat bergantung kepada nama tertulis. Sehebat apapun kampanye seorang caleg, seganteng apapun mukanya, sesimpatik apapun pembawaannya, pemilih tetap saja mencoblos di hari pencoblosan dengan melihat nama sang caleg.
"Karena itu blusukan itu penting." Ia menceritakan bagaimana seorang Jokowi pun pertama menjadi walikota harus blusukan memperkenalkan dirinya dari pintu ke pintu. Itupun hanya mendatangkan sekitar 30 persen suara. Baru setelah ia menjadi walikota, dikenal warga, dan kebijakannya benar-benar dirasakan manfaatnya, pada periode kedua semua warga kota menjadi mengenalnya dan mendatangkan kemenangan 80 persen lebih!
"Lah Jokowi dulu aja gitu apalagi gue yang belum jadi apa-apa. Kecuali kita artis gitu ya... Kalau bukan ya memang harus kerja keras datangi warga, bentuk dan gerakkan relawan dari pintu ke pintu. Sampai ke titik nanti gue benar sudah dikenal, usaha itu bisa menunjukkan hasil."
Lalu bagaimana kalau dengan pendekatan yang humble seperti itu kalah? Saya bertanya. Kan kenyataannya selama ini banyak yang mahfum bahwa kita harus punya uang banyak, pendonor besar untuk kampanye jor-joran, bahkan dalam kasus tertentu si oknum politisi "dipaksa" untuk bernegosiasi mengenai indealisme politiknya supaya bisa menang?
"Buat gue ga ada excuse untuk berkompromi. Kalau memang hitam ya hitam saja sekalian. Ideal ya ideal sekalian." No compromise!