Mohon tunggu...
hariadhi
hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Editor, designer, entrepreneur

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jangan Keburu Bahagia Dulu Premium Tak Jadi Naik

11 Oktober 2018   07:34 Diperbarui: 11 Oktober 2018   08:18 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Screenshot Republika

Saat kenaikan harga premium ditunda, saya sebenarnya termasuk orang yang tidak terlalu setuju. Kalau memang pada dasarnya harga minyak internasional naik, harusnya harga premium juga naik. Wajar, sebab konsep pemerintahan Jokowi adalah memotong subsidi yang tidak tepat sasaran menjadi pembangunan infrastruktur yang bisa dinikmati hingga anak cucu kita dan subsidi yang tertarget.

Tapi saya lebih tidak setuju lagi saat kebijakan menaikkan dan menurunkan harga Premium dilakukan tiba-tiba tanpa komunikasi dan pengkondisian terlebih dahulu. Maka kemarin saat kenaikan diumumkan, saya termasuk yang ribut protes ke dalam sana. Bagaimana mungkin kenaikan dilakukan hanya dengan rapat 1-2 jam. Seharusnya ada sosialisasi dulu kepada masyarakat, menyiapkan mereka untuk bersiap menghadapi kenaikan harga BBM.

Karena kita net importir, maka ndak bisa punya kontrol terlalu besar terhadap harga minyak. Apalagi Jokowi sudah memutuskan bahwa uang yang selama ini dibakar untuk subsidi mobil orang-orang mampu, dialihkan untuk pembangunan. Jadi kalau harga minyak internasional naik, kita juga seharusnya menerima kenyataan kalau harga BBM di dalam negeri lambat laun pasti akan naik juga. Ga ada pilihan yang enak kalau kita berniat jadi bangsa maju. Semua pasti butuh pengorbanan.

Tapi apakah benar BBM Premium kita masih disubsidi? Kalau iya, kok malah direncanakan akan naik? Jawabannya adalah antara ya dan tidak. Premium dalam rentang waktu tertentu dijaga kestabilan harganya, terutama di daerah-daerah yang sulit dijangkau. Itu masuk dalam skema BBM penugasan. Dalam arti negara bertanggung jawab penuh memberikan biaya kepada Pertamina agar harga BBM di tempat tersebut stabil dan sama dengan Pulau Jawa, apapun caranya.

Nah untuk harga premium sendiri, selain kewajiban PSO, sebenarnya Pertamina memiliki pengorbanan luar biasa dalam mempertahankan harganya supaya tidak melonjak. Caranya dengan diam-diam mensubsidi saat harga pembelian ke pasar internasional naik, yang biayanya diambil dari keuntungan perusahaan. Sederhananya, uang yang dipakai untuk membuat harga premium tidak naik, diambil dari selisih yang didapat saat harga minyak sedang turun (dulu). Itulah kenapa kalau harga minyak internasional turun, pemerintah tidak buru-buru menurunkan harga juga. Gunanya supaya saat sekarang harga minyak internasional naik, pemerintah juga tidak perlu buru-buru menaikkan harga Premium.

Ini mirip dengan kisah Nabi Yusuf. Negara menyediakan lumbung gandum untuk menyimpan stok saat berkelebihan, lalu menjualnya saat sedang paceklik. Bukan malah disubsidi pemerintah, yang membuat gandum yang dalam kondisi langka, makin cepat langkanya karena didorong konsumsinya oleh pemerintahan mensubsidi, sehingga harga jadi lebih murah dari yang seharusnya. Mirip dengan yang dilakukan Jokowi, namun dengan perhitungan abstrak yang lebih rumit. Jadi yang dilakukan Jokowi saat ini sebenarnya bisa dibilang terinspirasi kisah di Alquran..

Tapi bagaimanapun tidak ada bisnis yang diciptakan merugi. BUMN mungkin dianggap tidak efisien karena sibuk melayani kepentingan orang banyak, termasuk di antaranya Pertamina. Tapi tidak juga lalu harus bangkrut hanya karena menjaga pencitraan seorang Presiden menjelang Pilpres. Nah jika Pertamina dipaksa terus-terusan menjaga harga Premium saat harga minyak internasional sedang melonjak tinggi, tentu keuntungannya tergerus, lama-lama merugi, bahkan tidak mungkin bisa bangkrut.

Sementara faktor utama kenaikan harga minyak, kebijakan Donald Trump, belum menunjukkan tanda-tanda ketegangan akan berakhir. Trump masih menjalankan politik yang agresif di Timur Tengah. Iran sebagai salah satu penghasil minyak terbesar dunia masih dimusuhi dan disabotase. Dengan China, Amerika masih mengadakan perang dagang yang membuat mata uang di hampir seluruh Asia rontok. Dengan Russia pun, hubungan USA masih panas dingin. Jika dalam beberapa tahun ke depan rakyat Amerika Serikat tidak berniat mengganti Trump dengan tokoh lain yang lebih mengedepankan perdamaian dan ketenangan dunia, ada kemungkinan harga minyak internasional melejit seperti kondisi 2008 dan 2012.

Maka kalau kita terus menjerit premium tidak boleh naik, siapa korban pertama? Pastinya Pertamina. Perusahaan yang kita banggakan karena mampu merajai minyak bumi di Asia Tenggara ini jelas akan kolaps. Kalau sudah kolaps, siapa yang akan menanggung? Ya pastinya pemerintah, karena Pertamina murni milik Pemerintah Indonesia sebagai BUMN. Untuk menjaganya supaya tidak bubar jalan, pasti pemerintah nantinya terpaksa melakukan penambahan modal supaya Pertamina tetap bisa jalan, mempertahankan harga Premium.

Niat kita mencabut subsidi untuk membiayai pembangunan bisa jadi bahan tertawaan, karena toh akhirnya negara tetap saja mensubsidi dengan diam-diam. Lagi-lagi pembangunan infrastruktur yang akan dikorbankan, karena APBN kita tidak unlimited lho. Jika pengeluaran jauh melebihi pemasukan, maka presiden bisa disidang oleh DPR dan bisa mengarah kepada impeachment.

Premium akan naik juga pada akhirnya, walaupun bukan hari ini. Maka teman-teman yang mendukung Jokowi, ga perlu keburu puas hati dulu. Beberapa hari menjelang kenaikan yang sebenarnya, turunlah ke masyarakat menjelaskan bahwa harga minyak internasional memang naik. Mau tak mau, kalau ingin pembangunan terus berjalan, kita harus sedikit berkorban membeli premium dengan harga sedikit lebih mahal. Siapkan rakyat untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Mau tak mau pasti biaya transportasi jadi lebih mahal dan mempengaruhi harga di pasar, entah pengaruh itu besar atau kecil.

Jokowi bisa dibilang sudah unggul telak di Pilpres. Hingga beberapa bulan lagi menjelang pencoblosan, suara Prabowo bisa dibilang tak bergerak signifikan. Sementara keterpilihan Jokowi sudah melewati batas 60% menurut SMRC. Kepuasan sudah di atas 70%.

Nyaris tidak ada lagi gunanya berkampanye hard sell untuk memilih Jokowi. Maka yang harusnya dilakukan relawan adalah mensosialisasikan hal seperti ini. Keragu-raguan dan serba mengagetkannya kebijakan pemerintah dalam menentukan harga BBM bisa jadi bumerang yang menggerus suara Jokowi yang sedang bagus-bagusnya. Masyarakat tidak perlu lagi diyakinkan untuk memilih Jokowi, jika kita sudah berupaya mencerdaskan mereka, mampu membaca situasi pasar dan ekonomi internasional, lalu beradaptasi dan mengerti itu bukan salahnya Jokowi.

Hariadhi
hariadhi.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun