Berburu tikus? Buat apa tikus diburu? Kayak kurang kerjaan aja! Pertanyaan itu sungguh aneh. Namun, jika pertanyaan itu buat Pak Darjo petani Desa Maos Kidul, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah tentu tidak aneh.
Pak Darjo, pengelola karantina dan penangkaran burung hantu alias kokok beluk (Tyto Alba) yang didirikan oleh Gapoktan Sumber Makmur Desa Maos Kidul yang diketuai. Karantina dan Penangkaran Kokok Beluk bisa mempunyai sangkar maxi yang kokoh serta didukung oleh sarana/prasarana pendukung berkat penguatan dari Bank Indonesia Kantor Perwakilan Purwokerto dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah Kabupaten Cilacap. Saat ini, sangkar maxi yang terletak di belakang Bale Desa Maos Kidul sedang berisi 8 ekor burung hantu
Ba’da lohor, aku, Isrodin dan Pak Darjo berjalan menyelusuri perkampungan padat menuju sawah yang terletak di sebelah timur jalan raya Buntu-Sampang-Cilacap.
Pak Darjo membawa perlengkapan berburu tikus berupa galon air mineral dan cangkul. “Berburu tikus juga butuh BBM lho Mas,” kata Pak Darjo.
“Ah.. mana mungkin berbulu tikus butuh bakar bakar minyak?”
“Bukan, bahan bakar mulut, alias rokok.”
Aku dan Isrodin tertawa terbahak-bahak mendengar gurauannya.
Aku sama sekali tak punya bayangan berburu tikus. Kalau berburu babi hutan secara tradisional saya punya bayangan. Tujuh tahun lalu aku sekilas melihat aktivitas orang berburu babi hutan, ketika sedang dalam perjalanan menuju Pamarican Ciamis Jawa Barat
Tim berburu babi hutan biasanya terdiri 2-3 orang dan dibantu oleh 4-6 ekor anjing. Jalur tradisional babi hutan dihadang dengan perangkap. Lantas, anjing disuruh mengejar ramai-rama supaya masuk perangkap.
Berjalan kaki dari rumah Pak Darjo ke persawahan hanya butuh 5 menit. Sampai persawahan kami mengindentifikasi lobang-lobang di pematang sawah dengan seksama.
Katanya, tak semua lobang adalah lobang tikus. Bisa lobang yuyu (sejenis kepiting) atau lubang ular.”