Mohon tunggu...
Hari Widiyanto
Hari Widiyanto Mohon Tunggu... -

Suka menulis fiksi dan non fiksi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Metoda Hazton untuk Konservasi Hutan Gunung Slamet

31 Desember 2015   15:39 Diperbarui: 31 Desember 2015   19:29 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara sawah yang telah mereka sewa sedang diolah, pada tanggal 30 Desember 2015 para buruh tani Desa Baseh Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas mengikuti workshop tanam padi dengan metoda Hazton. Para buruh tani yang tergabung dalam Kelompok Tani Gunung Slamet Hijau sangat antusias mengikuti workshop singkat dari ahli tanam padi metoda Hazton Djoko Juniwarto dari KPw Bank Indonesia Purwokerto.

Sebelum mereka dilibatkan dalam Program Sosial Bank Indonesia (PSBI), diharapkan mereka dapat menguasai teknik tanam padi ombol yang pernah digunakan pada jaman Majapahit. Djoko Juniwarto memperkenalkan teknik dasar pemanfaatan sumber daya dengan kearifan lokal, seperti mempergunakan bribil (kotoran kambing) dan penggunaan air kelapa tua sebagai pengganti fertilizer kimia untuk menghasilkan padi yang bernas. Hal ini dimaksudkan agar buruh tani dapat menekan biaya in-put dan mengoptimalkan hasil panen, yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan penghasilan dan kemakmuran petani.

Dalam workshop itu dikemukakan dasar pemikiran metode Hazton , tanaman induk padi akan menghasilkan malay dan bulir padi yang optimal. Oleh sebab itu, metode Hazton tidak bergantung pada anakan. Agar padi tidak beranak maka pemindahan benih dilakukan pada saat usia tua (usia 30 hari semai), dan dalam satu lubang tanam menggunakan 20-30 benih. Dengan cara ini berdasarkan ujicoba yang dilakukan padi tetaap membawa anakan namun dalam jumlah terbatas atau 1-2 anak vegetatif saja. Sehingga dalam satu rumpun (dapur) akan terdapat antara 40-60 indukan padi yang mampu mengeluarjan malay dan bulir padi secara optimal. Dengan metode ini tidak heran kalau jumlah produksi yang dihasilkan akan mencapai 8-10 ton/Ha GKP. Dengan cara konvensional, benih yang digunakan dalam satu lubang tanam antara 1-5 benih. Pemindahan pada usia benih di bawah 25 hari akan menghasilkan 20 anakan padi. Namun jumlah indukan dan anak vegetatif yang menghasilkan bulir padi rata-rata hanya 12 malay. Ditambah lagi dengan penggunaan varitas yang tidak disesuaikan dengan kondisi dataran tinggi, maka tidak mengherankan kalau petani di daerah ini hanya menghasilkan rata-rata 1,6 ton GKP kering dalam satu hektar.

Bagi Bank Indonesia Kantor Perwakilan Purwokerto, mengembangkan tanam padi metoda Hazton di sawah dengan ketinggian antara 600-900 dpl adalah untuk pertama kalinya. Sebelumnya, KPw Bank Indonesia Purwokerto telah sukses mengembangkan di dataran rendah, yaitu di desa Pegalongan Kecamatan Patikraja dalam luasan 10 Ha yang menghasilkan rata-rata per hektar 8 ton/GKP, selama 2 (dua) musim tanam. Sedangkan di desa Tambaksari Kecamatan Kedungreja Kabupaten Cilacap menghasilkan rata-rata 9 ton/ha GKG dengan menggunakan varitas HT Logawa.

Dalam workshop tersebut, dipraktekkan pula cara menyeleksi dan memeram benih gabah yang akan ditebar di lahan pembenihan oleh Subur seorang praktisi tanam padi metoda Hazton dari desa Pegalongan.

Workshop tersebut diakhiri dengan penyerahan seperangkat Saprodi dan penandatanganan MOU antara KPw Bank Indonesia Purwokerto oleh Djoko Juniwarto dan Ketua Kelompok Tani Gunung Slamet Hijau oleh Sdr Kusno.

Dikatakan oleh Djoko Juniwarto, tanam padi dengan metode Hazton di sawah lereng selatan Gunung Slamet ini merupakan suatu pendekatan kemakmuran untuk para warga Desa Baseh. Diharapkan, dengan keberhasilan metode tanam padi ini nantinya dapat meningkatkan  secara signifikan penghasilan buruh tani yang menjadi petani penggarap sawah. Dengan adanya sumber penghasilan lain masyarakat di sekitar desa Baseh, maka ekologis lereng selatan Gunung Slamet yang terdiri dari wilayah konservasi, sumber-sumber mata air dan keanekaragaman hayatinya akan tetap terjaga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun