Mohon tunggu...
Hari Setiawan
Hari Setiawan Mohon Tunggu... -

Penulis, juga seorang jurnalis. Bercita-cita menjadi pebisnis, kini merintis sebuah organisasi nirlaba agar bisa memberi manfaat pada sesama. Khairunnaas 'anfa'ahum linnaas...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Air Mataku Terkuras...

24 Juni 2012   14:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:35 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Airmataku Terkuras…

SAAT aku menulis artikel ini, air mataku masih terasa perih dan pedih. Padahal, aku sudah menyempatkan tidur siang selama 1,5 jam sebelum berangkat ke kantor. Oh ya, aku setiap hari ngantor dari sore hingga malam hari. Maklum, aku menjadi editor di sebuah koran lokal di Kabupaten Jember, Jatim.

Entah mengapa mataku malam ini terasa perih dan pedih. Secapek-capeknya aktivitas pagi hari, jika sudah kusempatkan tidur siang, biasanya dipakai ngantor malam pun sudah tidak terasa capek lagi. Entahlah, malam ini mata masih terasa perih dan pedih.

Pagi hari sebelumnya, aku memang menghadiri sebuah majelis yang benar-benar menguras air mataku. Air mata yang selama ini ngendon di kelenjar air mata di sekitar kelopak mata itu tumpah ruah membanjir. Meluap, yang aku pun tidak mampu menghentikannya.

1340549225760660040
1340549225760660040
Kalimat-kalimat yang diucapkan Ustad Feri Dwi Sampurno itu begitu menohok hatiku yang paling dalam. Ah, lebay? Tidak. Pagi itu, aku benar-benar merasa tengah disidang di depan Tuhanku, Allah SWT.

Disidang tentang betapa tidak sabarnya aku menghadapi anak-anak. Tengah didakwa akibat kenakalanku waktu kecil kepada bapak dan ibu. Diajak membayangkan wajah-wajah sepuh yang kini jauh dariku, yang aku pun tak sanggup mengunjunginya sebulan sekali, apalagi sepekan sekali. Yang bertahun-tahun sangat jarang kucium takzim tangan-tangannya yang mulai mengeriput itu.

Oh…wajah bapak dan ibu itu hadir di depan mataku meski mataku terpejam untuk membendung air mata ini. Senyum bapak, senyum ibu, semua hadir kembali. Aku menyerah! Aku tidak sanggup lagi untuk membendung tumpahnya air mata ini.

Kalimat demi kalimat yang meluncur dari Ustad Feri benar-benar mengaduk-aduk hati dan pikiranku. Seandainya lebih lama lagi beliau melantunkan doa dan muhasabah itu, entahlah… mungkin mata ini bakal terlihat bengkak kemerahan akibat tangis yang begitu rupa.

Malam harinya, giliran Ustad Abu Hasanudin Al Hafizh yang memerah air mataku. Saat aku menghadiri walimatul khitan anak tetangga depan rumah, beliau kembali melafalkan doa untuk mengingat-ingat kembali dosa-dosa orang tua kepada anak. Siapa yang sanggup menahan tangis bila sudah begini? Air mataku bercucuran kembali, meskipun tak sederas pagi harinya.

* * *

Majelis Dhuha, Ustad Abu Hasanudin Al Hafizh, dan Ustad Feri Dwi Sampurno, hari ini telah sukses menguras stok air mata di kelenjar air mataku. Majelis Dhuha adalah sebuah pengajian yang dipelopori Ma’had Ibnu Katsir yang dipimpin Ustad Abu, yang didukung oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Indonesia. Dan Ustad Feri adalah penceramah yang mengisi Majelis Dhuha edisi kedua, tadi pagi. Majelis Dhuha diselenggarakan setiap pekan keempat setiap bulan di halaman kantor Puslitkoka di Jalan PB Sudirman, Jember.

Majelis Dhuha bukan pengajian biasa. Ini adalah majelis luar biasa. Mengapa? Disinilah sunnah-sunnah Rasulullah Muhammad SAW dihidupkan, di saat banyak manusia telah meninggalkan dan melupakan sunnah beliau. Selain ceramah, di majelis ini setiap jamaah diberi kesempatan melaksanakan shalat Dhuha di akhir pengajian. Di majelis ini pula, setiap jamaah bisa mendapat pelayanan baca tulis Alquran, tahsin Alquran, tahfizh Alquran, konsultasi syariah, dan konsultasi keluarga.

Sebuah majelis yang lengkap dalam melayani jamaahnya. Meskipun majelis ini berumur dua bulan, aku yakin, setiap jamaah yang pernah menghadiri Majelis Dhuha, Insya Allah akan “kecanduan” untuk hadir di majelis bulan berikutnya. Mengapa? Karena kita akan diajak untuk “menikmati” setiap lantunan doa, muhasabah, dan curhat kita kepada Allah SWT.

1340549283929373977
1340549283929373977
Jika kita selama ini tidak pernah mendapati nikmatinya berdoa –karena terburu-buru, berisik dengan suara anak, dan semacamnya—maka di Majelis Dhuha inilah kita akan diajak untuk jalasah ruhiyah. Dua kali aku ikut majelis ini, dua kali pula bekasnya terasa sampai sekarang.

Maka, bulan depan akan kubuat stok air mataku berlimpah, untuk selanjutnya aku tumpahkan semua di hadapan Allah SWT untuk memohon ampun dan pertolongan dari-Nya. Aku ingin berasyik-masyuk dengan-Nya. Karena, hanya Dia yang tidak pernah bosan mendengar curhat dan permohonanku. Insya Allah… (*)

Foto-Foto: Panitia Majelis Dhuha Jember

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun