Malam itu saya sebenarnya sudah sampai di Citayam, Depok, menuju Banten untuk mengambil video petani sawit berikutnya, sampai bunyi HP berdering. Nama Budiman Sudjatmiko muncul di layar HP. Saya segera menepikan motor dan menyentuh tombol accept.
"Ya Mas?" Jawab saya singkat.
"Besok pagi di Wiken, ya?" Suara Mas Bud di seberang. Seperti biasa kalau membuat janji Mas Bud selalu tiba-tiba. Saya tertawa. Padahal sudah terbayang berendam air hangat lagi di tengah lebatnya pohon sawit di Cipanas, Lebak, nanti. Mau tak mau saya berbalik kembali ke Jakarta dengan rasa lelah luar biasa.
Tapi meminta waktu Mas Budiman, salah satu orang yang mungkin penting sekali perannya dalam demokrasi yang kita nikmati sekarang ini, luar biasa sulitnya. Sudah dari dua minggu lalu saya berusaha meminta jadwal untuk bertemu. Jadi apa boleh buat, pikir saya.
Karena sudah kelelahan, saya benar-benar memacu motor perlahan. Kadang tidur sebentar di jalanan. Baru subuh sampai di sekitaran Kalibata. Setelah sarapan dan minum kopi, saya berbelok ke arah Tebet. Di sanalah Wiken Cafe, tempat kami biasa membuat janji bertemu.
"Wawancara soal apa?" Tanya Mas Bud.
"Oh ringan saja Mas. Soal isu kampanye hitam tenaga kerja anak di Perkebunan Sawit," jawab saya sambil membongkar tripod dan memasang kamera HP.
"Tapi saya ga bisa lama, ya? Ada pertemuan lagi!" Kata Mas Budiman sambil melirik ke arah teman-temannya. Saya menjanjikan memang tidak lama, hanya butuh sepuluh menit saja untuk berkomentar. Kebetulan Mas Budiman Sudjatmiko memang menjadi Komisaris Independen PTPN V, BUMN milik negara yang memang fokus mengolah perkebunan sawit di Provinsi Riau.
Kamera langsung saya hidupkan dan langsung ke pertanyaan, benarkah terjadi pekrutan tenaga kerja anak di perkebunan sawit di Indonesia, khususnya PTPN, yang langsung mentah-mentah dibantah Mas Bud.
"PTPN sebagai BUMN itu perusahaan negara, jelas diikat oleh peraturan-peraturan etis maupun hukum, dan tidak boleh melanggar hak asasi manusia. Apalagi kasusnya adalah penggunaan buruh anak."