Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Nature

Durian Pak Husein (2)

29 September 2021   18:22 Diperbarui: 29 September 2021   18:36 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Dingin sekali saat saya tiba di perbatasan Cirinten, Banten, pukul 2:00 dini hari. Sedingin rasa patah hati dengan kehidupan yang semakin sulit bagi semuanya dengan adanya pandemi. 

Tidak ada yang tidak terbebani dengan kondisi saat ini. Namun rasa itu sedikit terobati dengan kabut yang menghiasi perkampungan sekitar, yang bisa diintip dari atas bukit. Indah dan asri sekali bak negeri di awan.Sesekali terdengar suara burung disahuti sayup sahutan dari suku asli, Baduy.
"

Coba ke arah Malimping, di situ banyak perkebunan rakyat. Kalau di Jasinga sini adanya teh milik perusahaan," saran Pak Alit, salah seorang karyawan PTPN VIII beberapa bulan lalu. 

Saya ikuti pesannya dan akhirnya sampai di kebun kecil. Hanya ada beberapa batang sawit di pinggir jalan. Tapi saya yakin pemiliknya, Pak Husein, punya banyak cerita. Sebelumnya saya sudah pernah berkunjung ke sini.

"Bapak sedang sakit, dirawat di Pandeglang," ujar Farhan, anak Pak Husein. Jawabannya membuat saya mengerinyitkan dahi. Sebelumnya Pak Husein terlihat baik-baik saja, dan dialah satu-satunya kontak petani saya di Cirinten. Dengan perasaan tak menentu, saya susul ke Pandeglang. Di sini, untuk bisa dirawat di rumah sakit, harus menempuh jalan darat berjam-jam.

"Iya, saya kena serangan jantung," jawaban Pak Husein pendek. Napasnya tidak lagi selancar dulu. Padahal sebelumnya ia dengan bangga berjalan kaki naik turun di lahannya yang terjal, memperlihatkan pohon sawitnya yang diselingi berbagai tanaman seperti jengkol, kopi, petai, sampai durian.


Dari 200 batang sawit yang ditanam di 2 hektar kebun miliknya, ia bisa menghasilkan Rp 3-5 juta rupiah, belum termasuk panen buah tahunan. Inilah yang menopang keluarga untuk membayar biaya operasi dan perawatannya.


"Dari durian bisa 40 - 50 jutaan per tahunnya," sambung Pak Husein lagi.

Pak Husein memberitahu bahwa tumpang sari sebenarnya pasti dilakukan oleh petani kecil. "Masa berbuah sawit itu 3-5 tahun. Tidak mungkin uang saya dibiarkan tertanam begitu saja selama itu, pasti menanam tanaman selingan sambil menunggu sawit menghasilkan." Ini jauh berbeda dengan citra tanaman monokultur yang sering dijadikan senjata untuk menyerang perkebunan sawit di Indonesia.

 Adanya kampanye hitam terhadap sawit yang dituding merusak alam sangat memukul pemilik lahan kecil. "Dulu harga bagus, kami masih bisa hidup dari lahan seadanya. Sekarang harga jatuh sampai Rp 300-400 per kilogram. Mau makan dari mana?" protes Pak Hasanuddin.

 Hal serupa diungkap Pak Alit saat saya ajak berbincang di Jasinga. "Kalau untuk perusahaan besar mungkin masih bisa bertahan, tapi kasihan petani kecil kita. Sudahlah panennya sedikit, harganya juga jatuh."

Kini, isu buruh anak kembali dihembuskan, dan mereka pun meradang. "Tidak ada itu, mana mungkin anak usia sekolah disuruh mengurusi sawit. Ada-ada saja," gerutu Pak Hasanuddin.

Hal serupa juga diungkap Vano, salah satu pekerja lepas di Leuwidamar. "Hoax! Bekerja di kebun sawit itu berat. Saya saja yang sudah dewasa belum tentu bisa. Alatnya saja itu besar dan berat sekali, gaet namanya. Bukan lagi parang kecil. Bagaimana mungkin anak-anak bisa menggunakan?" Jawabnya sambil tertawa saat saya coba menanyakan.

 "Mungkin ada beberapa anak petani atau pekerja yang ingin belajar menanam sawit. Biasanya itu untuk mendidik mereka untuk masuk dunia kerja nanti. Dalam kondisi seperti ini tidak mudah mencari pekerjaan di kota. Karena itu sesekali mereka belajar, memungkinkan mereka ikut bekerja saat lulus sekolah nanti."

 Bagi pemilik lahan kecil seperti Pak Husein, mewariskan kebun kepada anaknya juga bukan hal mudah. Sesekali ia mengajak Farhan, anak bungsunya yang memang bersekolah di SMK jurusan Agrobisnis, Pangan dan Agrikultur. "Itu juga paling memupuk dan mengawasi," ujar Farhan.

 
Tidak yakin dengan kesaksian mereka, saya mengunjungi kebun lainnya di Cipicung, sekitar seperempat jam dari Kebun Pak Husein. Di sini saya tertegun melihat kebun sawit yang diselingi dengan nenas dan manggis. 

Saya sapa pemiliknya, Pak Haji Satria. Ia juga membenarkan bahwa memang budaya mewariskan turun-temurun cara berkebun sudah jadi kebiasaan di Indonesia. Namun itu juga tidak menjadi alasan baginya untuk memaksa anaknya, Bayu bekerja berat. "Paling menemani saya saja di sini, bantu-bantu saja, tidak dibayar di sini."

 Isu buruh anak mengancam kehidupan pemilik lahan kecil seperti mereka. Namun tidak ada pilihan lain. Bagi Pak Husein, bekerja sendiri dengan kondisi tubuhnya yang tidak sekuat dulu jelas tidak memungkinkan. 

Ia harus mempersiapkan anaknya untuk mengambil alih dengan pengetahuan yang lebih baik. Memelihara kebun sawit kecil adalah impiannya saat memasuki masa pensiun. Tapi mungkin mimpi itu bisa terkubur andai kampanye hitam kembali menyerang.

 
"Ayo dicoba duriannya, dari kebun. Kecil tapi manis," Pak Husein menawarkan dengan ramah. Sambil menikmati manisnya durian, saya berpikir, tuntutan memadankan sawit dengan tanaman lain memang ideal, tapi tidak mungkin terwujud jika panen sawit mereka terus-terusan dibeli dengan harga mencekik.

 
Karena hidup tidak pernah semanis durian Pak Husein.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun