Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Naik Kelasnya Pasti Mau, Lah Modalnya dari Mana Coba?

14 Maret 2021   23:51 Diperbarui: 15 Maret 2021   00:34 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"COVID begini usaha suami saya menurun drastis. Mobil sudah saya over kredit ke orang. Tapi saya percaya saya bisa bangkit lagi dan berjuang untuk anak-anak saya," cerita Bu Yulandari dengan sedih. Pandemi telah merenggut kebahagiaan keluarganya. 

Tapi kegigihan Bu Yulandari bisa terlihat dari kenekatannya berjualan sembako seadanya, bahkan tanpa warung fisik sekalipun. 

"Awalnya saya Ibu Rumah Tangga, Pak. Tapi kemudian dengan modal cuma Rp 300 ribu saya nekatin berjualan telur bebek peking. Dititipi 20 kg," jelasnya dengan senyum mengambang. 

Dengan keuntungan yang berhasil dikumpulkan, ia mulai menyewa tempat hingga Rp 250 ribu setiap bulannya. Namun jangan dibayangkan seperti warung sembako yang biasa kita kenal. Ia hanya berjualan bermodalkan meja yang ditempatkan di pinggir jalan dan kepercayaan dari distributor.

"Saya tuh cuma pedagang kecil di pinggir jalan Pak. Mana ada warungnya. Peralatan saya cuma satu meja untuk dagang saja," ungkapnya dengan sedih saat ditanya di mana lokasi warungnya. 

Pun demikian, usaha ini tetap berkembang karena ia mengelolanya dengan jujur dan amanah. Distributor telur terus menambah jumlah titipan. 

"Awalnya memang untungnya cuma bisa buat makan. Tapi Alhamdulillah lama-lama dititipi sampai 20 ikat telur setiap minggunya. Ya sekitar 300 kilo lah." Sebuah angka yang sebenarnya cukup fantastis mengingat Bu Yulandari hanya bermodal seadanya. 

Namun membuka usaha jelas tak mungkin tanpa halangan. Awalnya ia menyuplai ke warung-warung sekitarnya, kini mereka malah berbalik menjadi saingan karena sudah mampu mengambil sendiri telur ke distributor. 

"Usaha saya sudah mulai goyang, Pak. Karena dua warung di dekat saya jaraknya cuma 3 meter. Mereka ikut dagang seperti saya," adunya sambil menahan tangis. Supaya bisa bertahan, terpaksa ia membanting harga. Dari awalnya per kilo bisa mengambil keuntungan setidaknya Rp 2.000, sekarang Bu Yulandari memotong keuntungannya hingga Rp 500 sampai Rp 1.000 saja. Ini tentu mengenaskan. Sementara untuk mengemasnya menjadi promo yang tidak perlu membanting harga, ia tak mampu. 

"Jadi rugi dong saya Pak kalau dibikin promo dengan produk lainnya," jawabnya khawatir saat saya menyarankan untuk membuat bundling telur dengan produk yang laris di pasaran. 

Bagaimanapun, usaha ini juga ikut mendorong orang-orang di sekitar kehidupan Bu Yulandari produktif kembali. Suaminya yang kehilangan pekerjaan bisa ikut membantu. "Ponakan saya juga ikut membantu. Tapi sekarang ia sudah pulang ke kampungnya. Tinggal kami berdua sekarang." Sementara mereka masih harus menanggung beban mengasuh tiga anak yang relatif masih kecil-kecil..

"Selama pandemi ini, anak-anak saya jadi terlantar pendidikannya, karena kami harus fokus berjualan telur agar mendapat nafkah. Paling besar usia 12 tahun. Dua lagi umur 5 tahun dan 2,5 tahun." 

Keinginan berkembang dan mendapat keuntungan lebih baik tentu ada. Bu Yulandari sendiri berharap ia bisa membuka warungnya di rumah saja agar bisa sekalian mengasuh anak-anak. Namun apa daya modalnya belum ada. Butuh Rp 10-20 juta untuk membuat warung lengkap di rumah. Untuk mengajukan pinjaman lunak ke bank, ia belum berani, takut ditolak. 

"SKU dan kelengkapan surat lainnya sih sudah ada, Pak. Saya takutnya ditolak, jadi sia-sia nanti mengajukannya," alasannya saat ditanya mengapa tidak mengajukan kredit ke Bank. Sementara menggadaikan barang dirasakan tidak bisa menjadi solusi. 

"Motor saya yang ada sekarang saja masih belum lunas dicicil 3 bulan ini, Pak." Namun ia bersemangat saat diceritakan bahwa pemerintah tengah menyusun program Kredit Ultra Mikro yang bisa membantu harapan pedagang-pedagang kecil sepertinya untuk bisa naik kelas dengan memberikan bantuan modal.

"Menarik, saya mau coba, Pak. Bagaimana ya itu mendaftarnya? Tentu saya mau, apalagi pakai pendampingan usaha juga," serunya dengan mata berbinar-binar. Bu Yulandari bahkan tidak ingin hanya dia sendiri saja yang mendapat manfaat ini, tapi juga pedagang-pedagang kecil lainnya. 

"Programnya sangat menarik untuk rakyat kecil seperti saya, Pak. Mudah-mudahan banyak pedagang kecil lainnya yang juga bisa ikut program ini ya, Pak," kata Bu Yulandari dengan penuh harap. 

Saya yakin dan berkesimpulan bahwa semua pengusaha tentu mau usahanya terus berkembang, tak terkecuali para pengusaha kecil sekalipun. Namun akses atas modal yang mudah dan bunganya terjangkau, serta disertai pendampingan bisnis, adalah hal krusial bagi mereka untuk bisa ikut menggerakkan perekonomian kita, terutama pada saat pandemi seperti ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun