Sebenarnya sudah lama saya menggemari nasi uduk Bu Lia yang terletak di Johar Baru, Jakarta Pusat ini. Rasanya tidak terlalu berlemak, dan lauk pauknya lengkap, begitu juga sayurannya. Dulu Bu Lia mengontrak di salah satu warung yang terlihat rapuh seakan mau rubuh. Tapi karena bangunan tersebut dibangun ulang oleh pemiliknya jadi rumah bertingkat, akhirnya Bu Lia pindah mengontrak lebih ke belakang. Warungnya turun kelas jadi dagangan kaki lima di depan sekolah. Kecil sekali.
Padahal pelanggannya lumayan ramai. Apa boleh buat, tapi itu sepertinya tidak mengurangi penggemar nasi uduk Bu Lia. Hanya pandemi yang kemudian membuat tidak ada lagi yang mau makan di tempat, hampir semua dibawa pulang.
"Berapa sih Bu, modal bikin gerobakan begini?" Saya memancing pembicaraan di pagi yang diselingi gerimis itu. Â Dia tersenyum kecut.
"Ya pas pindah ke sini adalah kena lima setengahan," Katanya sambil mengacungkan kelima jarinya.
"Buset apa aja itu?" Tanya saya keheranan.
"Paling banyak beli gerobak kan. Terus alat-alat. Bahan masakan. Minta izin ini itu. Dicari-cariinlah. Daripada kehilangan mata pencarian," jelasnya.
"Kenapa ga coba minta modal dari Bank? Kan zaman pandemi gini banyak bantuan ringan dari pemerintah?" Selidik saya.
Bu Lia melanjutkan mengaduk penggorengannya, wangi tempe goreng menyambangi hidung saya. Hmmm...
"Ribet mas, syaratnya ini itu. Apalagi kalau minta bantuan untuk modal usaha, katanya mesti punya catatan keuangan dan rencana bisnis dulu. Manalah orang seperti kita ini ngerti. Yang kita tahu ya melanjutkan hidup, jual dan beli."
Saya mengangguk-angguk.
"Lah kalau pinjaman online gitu kan ada? Toh ibu punya HP, tinggal download," tanya saya lagi.