Ya, ada banyak sekali alasan-alasan kita tak perlu percaya nyinyiran dan bacotan SJW, alias para penegak keadilan sosial di internet. Salah satunya adalah kelakuan mereka yang suka menelan informasi bulat-bulat dan menyebarkannya tanpa mengecek salah atau benarnya.
Salah satunya adalah hobi mereka mendiskreditkan bangsa sendiri demi kepentingan asupan modal dari pesaing-pesaing dagang kita di dunia internasional. Salah satunya adalah masalah sawit.
Walau sering dikritik sebagai perusak lingkungan, banyak yang tak sadar kalau sawit itu ya pohon juga. Ia menyimpan air. Ia juga mengolah karbon dioksida menjadi oksigen. Sama saja seperti pohon lainnya yang ditanam petani. Aktivitas mengubah karbondioksida menjadi oksigen ini ujungnya menjadi buah yang dipanen pak tani. Buahnya bisa berbentuk nanas, mangga, apel, melinjo, hingga..
...sawit
Iya, sawit itu menghasilkan buah. Sama saja seperti produk pertanian lainnya. Sama-sama memberi penghidupan kepada rakyat kecil, sama-sama tindakan memelihara tumbuhan dengan hubungan mutualise, dan pada titik tertentu tentunya punya ekses terhadap lingkungan, seperti juga kalau seorang manusia hidup tanpa ngapa-ngapain pun, tetap punya dampak terhadap bumi.
Seperti yang bapak saya bilang, "Kalau mau hasil sawit maksimal, ya ingat dalam panen itu ada 3 bagian hak masing-masing. Satu bagian untuk pekerja, satu bagian dikembalikan ke alam, nah sepertiga lainnya baru kita ambil sebagai pemilik lahan. Jangan serakah!"
Inilah yang kemudian gagal dipahami SJW, lah ya jelas karena mereka memang dititipi pesan kebencian terhadap sebuah pohon thok. Seolah kalau satu saja pohon itu berhasil hidup, maka jutaan rakyat akan mati berdiri. Sudah mirip aliran sesat.Â
Apakah sawit itu pasti baik seperti yang pernah diangkat dalam bentuk hestek?
Salahkah pisaunya? Pisaunyakah yang kita jatuhkan hukuman mati kalau ada seseorang kehiangan nyawa?\\
Dan buktinya sudah banyak kok perusahaan-perusahaan yang menghadapi denda miliaran hingga triliunan akibat praktik yang salah. Perusahaan-perusahaan seperti itu tentu patut kita musuhi.
Tuduhan oleh BBC Indonesia
Nah sekarang dengan kebencian yang menyala-nyala tanpa dasar atas sebuah pohon, seperti pada Abad Pertengahan juga ada yang melaknat orang lain sebagai penyihir tanpa pernah terbukti orang itu adalah penyihir, politik yang sama dijalankan oleh industri-industri minyak pesaing sawit. Pokoknya sawit itu salah, pokoknya yang bersalah atas matinya orang utan itu sawit, pokoknya sawit itu tanaman mengancam kelestarian makhluk hidup lain.
Iya, seperti saya bilang, kalau pohon mangga ditanam massal dengan penuh keserakahan, jadilah pohon mangga itu perusak lingkungan. Problemnya bukan di jenis pohonnya, tapi perilaku manusia yang menyalahgunakannya untuk keuntungan pribadi.
Â
Itulah hal serupa yang kita hadapi dengan sawit. Mindset kita saat awal terjadi booming sawit pada tahun 90an, adalah sawit itu tanaman monokultur, ditanami di lahan ribuan hektar tanpa ada penyeling pohon atau sayuran lainnya. Praktik seperti itu tentu merusak lingkungan dan merusak habitat satwa yang jelas tidak mungkin hidup dari memakani buah sawit.
Tapi kini teknik tumpang sari mulai banyak dipraktekkan para penanam sawit, utamanya para pemilik kebun sawit rakyat. Alasannya jelas, mereka tidak mungkin menunggu 3 tahun dulu sampai sawit berbuah dan dipanen. Sementara itu perlu tanaman penyeling agar pak tani tetap dapat penghasilan.
Walau sebenarnya hal ini bukan kesengajaan, namun lebih kepada untuk menghormati peladang berpindah dari suku asli, tapi bagaimanapun praktik tumpang sari terjadi di lahan sawit.
Inilah pula yang menjadi persoalan saat beberapa waktu lalu BBC ikut-ikutan memperkeruh masalah dengan meributkan kejadian lama di Korindo. yang lalu diramaikan oleh $JW, untuk menjadikannya serangan politis.Â
Celakanya hanya bermodal video Greenpeace yang diambil tahun 2013, yang tentunya sudah tak relevan lagi dengan pemerintahan Jokowi yang sudah beraksi keras terhadap pengusaha sawit nakal yang membakar hutan untuk pembukaan lahan.
Baca kembali, pembakaran hutan untuk pembukaan lahan.
Pembakaran dan pembukaan.
Praktik pembakaran memang pada awalnya diandalkan untuk membuka lahan bagi perkebunan baru. Itu dulu. Saat ini pembakaran lahan sudah dilarang secara total. Karena malu juga kita kan megekspor asap tiap tahun? Dan buktinya sudah hampir 6 tahun belakangan ini kita nyaris tidak ekspor asap lagi..
Masuk akalkah?
Keterangan Korindo justru masuk akal dengan keberadaan video tersebut, bahwa bukan mereka pelaku pembakaran, namun oknum di luar perkebunan yang membakari kayu di sekitar lahan sekitar perkebunan untuk memancing tikus tanah keluar dan kemudian diburu.
Praktik hampir mirip dilakukan petani tradisional untuk mengusir tikus tanah dari sawah. Apakah lalu padi dituduh merusak lingkungan karena petani mengasapi lahannya untuk membuat tikus atau tikus tanah keluar dari lahannya?
Salah sawit atau salah manusia? Salah padi atau salah manusia?
Lah ya kalau perusahaan sudah mampu menebang dengan alat mekanik, tanpa membakar, lalu kayunya dijual, lalu buat apa lagi ujungnya kayu-kayu tersebut dibakar? Rugi dong, sesuatu yang sudah punya nilai ekonomis dengan dijual, lalu dibakar begitu saja sehingga musnah? Dan kalau memang Korindo cukup nekat melakukan pembakaran untuk pembukaan lahan, lalu buat apa lagi membuka dengan traktor? Kenapa dibakarnya malah setelah lahannya dibuka?
Ingat, pembakaran itu, normalnya dilakukan untuk membuka lahan. Ini tentu menimbulkan pertanyaan besar atas klaim artikel BBC Indonesia, dan tentu kita perlu mempertanyakan, kalau memang pembakaran kayu terjadi, apa gunanya kayu tersebut dibakar?
Â
Inilah yang kemudian menjadi hasil penyeldikan The Forest Stewardship Council (FSC) yang menyatakan bahwa bukan Korindo yang melakukan pembakaran tersebut. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Merauke juga sudah menyatakan bahwa pembukaan lahan di wilayah Korindo juga dilakukan dengan cara mekanis, bukan dibakar. Surat Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian LHK RI Nomor S.43/PHLHK/PPH/GKM.2/2/2017 tanggal 17 Februari 2017 juga memperkuat fakta tersebut.
Bantahan ini lalai dimuat dengan detail oleh BBC Indonesia, yang malah membantah lagi pernyatan tersebut dengan memuat hasil "investigasi" berdasarkan propaganda Greenpeace dan Forensic Architecture.Â
Tanpa bermaksud menyerang pribadi, namun saat saya buka siapa saja yang terlibat dalam propaganda Forensic Architecture tersebut, mayoritas ya arsitek dan ahli visualisasi, tak terlihat ada satu pun ahli lingkungan atau pertanian yang bisa memberikan sudut pandang yang relevan.
Dan lucunya lagi, video BBC tersebut justru diawali pernyataan dari peneliti Forensic Architecture yang terang-terangan menyatakan tidak tahu apakah kebakaran itu disengaja atau tidak.Â
Yang dipakai sebagai modal membuat pernyataan adalah spasialisasi kebakaran dari 2011 hinga 2016. Sudah begitu saja. Lalu dipakai untuk menghakimi "kebakaran" lahan sawit di tahun-tahun ini.Â
Parahnya lagi, surat rekomendasi FSC pada tahun 2019 untuk mendorong Korindo membenahi praktik pembukaan lahannya malah dijadikan alasan seolah FSC menjustifikasi memang Korindo membakar lahan. Padahal surat tersebut didasari hasil investigasi sebelumnya yang nyata-nyata sudah menyebutkan bahwa Korindo tidak melakukan pembakaran lahan.
"The PfA investigation concluded that Korindo had converted forests to establish oil palm plantations in Indonesia, leading to the destruction of high conservation values. The allegations that Korindo had deliberately and illegally set fires in plantations, were rejected, but overall there was evidence of violations of FSC's Policy for Association." terjemahannya:
"Investigasi PfA menyimpulkan bahwa Korindo telah mengkonversi hutan untuk mendirikan perkebunan sawit di Indonesia, menyebabkan terjadinya kerusakan atas nilai-nilai konservasi yang tinggi. Tuduhan bahwa Korindo telah secara sengaja dan ilegal membakar lahan, ditolak. Namun ada bukti-bukti pelanggaran atas FSC Policy for Association."
Dengan kata lain, betul ada pelanggaran yang dilakukan oleh Korindo, namun tidak ada hubungannya dengan pembakaran lahan. FSC tetap menerima Korindo sebagai anggota dan memberikan Korindo kesempatan memperbaiki hal-hal yang didapat dari penyelidikan tersebut.
Sama sekali tidak bisa dijadikan dasar untuk menuduh Korindo memang membakar lahan secara sengaja dan ilegal.
Tindakan BBC Indonesia ini tentunya membuat kita mengerinyitkan dahi. Apakah memang segitu rendahnya mutu jurnalisme mereka sehingga hal sesederhana itu sulit betul dipahami sebelum menulis?
Robert Hii dari Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) Watch, juga mengungkapkan keheranannya atas serangan membabi buta oleh BBC ini.
"Saya tidak terlalu akrab dengan hukum Indonesia, apakah memang kerusakan dari sebuah goup bisa merusak reputasi grup lainnya. Namun dari yang saya perhatikan dari video BBC, dari cara mereka menyusun konten, terlihat jelas upaya BBC untuk merusak reputasi Korindo,"ungkapnya.
Robert juga menyayangkan bagaimana BBC Indonesia tidak terlebih dahulu memeriksa klaim narasumber yang dicomot begitu saja.
"Seorang kepala suku bernama Petrus dikutip berkali-kali dengan cerita yang begitu sedih, mengenai bagaimana ia menjual lahannya dan kini tak ada lagi harapan bagi anak-anaknya karena hutan sudah hilang. Sementara dari yang saya dengar, tak ada satupun lahan milik sukunya Petrus yang sudah ditanami oleh Korindo," ungkapnya penuh keheranan.
Dari rilis Korindo yang bertebaran di Whatsapp, saya juga membaca pernyataan yang sama. Korindo menyatakan membuka lahan mereka pun belum, jangankan mau dituduh merusak lingkungan tempat suku-suku itu mengklaim hidup dan bertahan di sana.
"Meskipun Petrus Kinggo dan semua marga lainnya telah menerima pembayaran kompensasi pelepasan lahan, namun pada faktanya hingga saat ini perusahaan belum pernah melakukan pembukaan lahan di seluruh areal tersebut. Sehingga dapat dipastikan bahwa tidak ada hak atas tanah masyarakat yang dilanggar oleh perusahaan," ungkap rilis dari Korindo sambil menyertakan peta lahan yang sudah mereka olah.
Apakah rilis dan klaim Korindo ini pasti benar? Belum tentu juga. Sebagai manusia rasional dan logis, kita terkena kewajiban untuk memeriksa setiap poinnya, seperti kita juga harus bersikap skeptis terhadap pernyataan narasumber-narasumber yang dikutip BBC.
Namun harusnya fakta-fakta yang ada dimuat lengkap oleh BBC Indonesia, bukannya terburu-buru merilis informasi yang sepotong-sepotong dan tendensius karena dirasa sensasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H