"Terus aja telusurin pohon sawitnya, nanti di ujung itu pohon durian, turun ke bawah. Di situ rumahnya," tambah temannya.
Saya kemudian mengikuti petunjuk itu. Curam sekali ke bawah. Tapi di bawah saya menemukan hal yang tak lazim. Rumah Pak Hussein ternyata cukup mewah. Atapnya genteng dan lantainya dari keramik berkilat. Saya ketuk pintunya.
"Pak Hussein sedang memanen jengkol. Mau nunggu?" Kata Bu Hussein menyambut saya.
"Boleh bu, sekalian izin menggunakan toilet untuk membasuh badan," jawab saya. Saya baru ingat sudah seharian tidak mandi karena berkendara dari Jakarta.
Usai mandi, kami mengobrol.
"Dari Jakarta? Oh, saya dan suami dulu juga di Priok tinggalnya. Bapak usaha dagang besi tua bekas kapal. Belakangan Bapak beli bibit sawit dan ditanam di kebun dan bangun rumah. Kita memutuskan tinggal di sini saja." ia duduk di kursi rotan yang tidak terlihat murah sama sekali.
Bu Hussein dengan bangga menceritakan bagaimana kebunnya dan suami sebenarnya tidak terlalu bergantung ke sawit. "Durian juga ada. Bapak menanam durian tembaga yang mahal itu. Kalau sudah musim panen, habis diborong Rp 100 ribuan sebuahnya." Ia menunjuk pondok di depan rumah yang tipikal tempat berjualan durian.
"Kalau bapak memang apa saja yang bertemu, ditanam. Dapat bibit merica, ditanam. Dapat nenas, ditanam. Apa saja ditanam," tambahnya lagi.
Setelah mengambil beberapa foto Bu Hussein, saya pamit untuk mengecek kebunnya yang berada di belakang rumah. Bu Hussein mempersilakan.
"Iya, ini kebun saya. Itu di atas ada durian, merica, cokelat, cengkeh, nenas. Selingannya sawit," jelas Pak Hussein yang baru saja saya temui. Ia memegang tangan saya supaya bisa kokoh berjalan.