Tulisan ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan dimuat di situs Council of Palm Oil Producing Countrues - CPOPC)
"Sunar diinjak gajah, tiga tulang iga dan empat tulang punggungnya patah. Napasnya harus pakai alat," Bapak memberi tahu saya lewat SMS. Bapak saya adalah petani kelapa sawit.Â
Beliau mempekerjakan tiga orang buruh yang membantunya mengurus kebun seluas delapan hektar di Duri, Riau. Sunar salah satunya. Walau dipandang sebagai hama yang berbahaya, membunuh gajah bukan perilaku yang tidak diperkenankan oleh petani dan buruh sawit di wilayah ini.
Â
Kelelahan bekerja membuat Bapak sering tertidur pulas di kebun sawit meski hanya beralas tanah dan rontokan daun
Sebagai pihak yang mempekerjakan, keluarga kami bertanggung jawab atas nasib para buruh. Pihak rumah sakit memperkirakan pengobatan Sunar akan menelan biaya sampai Rp 30 juta. Mahal sekali untuk ukuran petani kelapa sawit pada sekitar awal tahun 2000. Untungnya solidaritas di kalangan sesama petani dan buruh sawit tergolong tinggi.Â
Menurut Bapak saya, teman-teman Sunar beriuran untuk membantu. Dana kolektif sebesar Rp 12 juta berhasil dikumpulkan sehingga biaya perawatan tidak terlalu berat. Seperti itulah biasanya hubungan antara para pemilik lahan sawit rakyat dengan buruh taninya maupun sesama buruh tani. Meski tentu tidak semua.
Bicara gajah, binatang ini bukanlah makhluk sirkus lucu seperti yang kita lihat di kartun Dumbo. Mereka bagian dari alam liar. Ukuran tubuhnya berkali lipat manusia. Dan jangan pernah berpikir mereka makhluk yang lambat. Jika berlari mengejar, kemungkinan manusia bisa lolos sangat kecil. Mereka juga punya memori luar biasa untuk memelihara dendam. Jika salah satu keluarganya terbunuh di suatu lahan, mereka cenderung kembali dan mengamuk di lain waktu. Tak ada bedanya bahaya menghadapi macan dengan menghadapi gajah, keduanya merupakan pertaruhan nyawa.
Walau demikian, di kalangan petani ada kesadaran kuat untuk tidak membunuh gajah dan hewan liar lainnya karena dipandang sebagai bagian dari alam yang harus dilindungi. Hampir tak ada petani yang berani melanggar aturan itu karena mereka juga takut berhadapan dengan hukum. Meski kemudian tanpa bisa diramalkan, gajah bisa saja datang mengamuk dan merampas tanaman milik petani kecil. Pohon sawit kecil mereka cabut untuk dimakan. Ini menimbulkan kerugian luar biasa bagi petani yang kadang hanya punya uang untuk sekali menanam, tidak punya dana cadangan lain.
Masuknya gajah ke perkebunan petani antara lain karena lahan-lahan perusahaan biasanya dipagar listrik dan diberi kanal cukup dalam sehingga gajah dan babi hutan tak bisa melintas. Maka petani kecil biasanya kebagian getahnya karena gajah-gajah yang terpotong jalur migrasinya akan mulai berpindah jalur ke pertanian yang belum dipagari. "Biasanya kita menakuti dengan kembang api dan kabel yang dikaitkan dengan lonceng, sehingga saat gajah masuk, semua petani di sekitar akan membakar obor dan serentak menakuti dengan api," jelas Sunar.
Tetapi binatang cerdas ini belajar dan menyimpan memori. Mereka belajar kelemahan taktik tersebut dan tidak lagi takut atas panas dan silaunya api. Itulah yang terjadi pada Sunar. Ia justru dikejar saat berusaha menghalau. Malangnya, ia terjerambab di atas rawa yang memberi peluang pada gajah pengejar menginjaknya. Sunar masih merasa beruntung karena injakan itu "hanya" meremukkan tulang dadanya akibat terjatuh di kubangan lumpur. Biasanya, injakan gajah yang mengamuk akan menewaskan korban dengan kondisi mengenaskan. Badan korban bisa hancur sampai jenazahnya tak bisa dikenali lagi.
Gangguan Alam yang Tak Boleh Dibunuh
Isah, istri Sunar, pernah bercerita hewan lain yang tidak kalah berbahaya, yaitu ular. Ular kobra berpotensi membunuh petani yang lengah lalu menginjaknya, terutama pada malam hari saat mengusir gajah.Â
"Kemarin ada teman di Sebanga yang sampai pahanya menghitam dan terpaksa diamputasi. Ditunggu perawatan lama, tidak sembuh juga. Daripada kehilangan nyawa, lebih baik kehilangan kaki." Isah berkisah. Walau luka amputasi sembuh, namun bertani adalah pekerjaan fisik. Kehilangan anggota tubuh jelas akan mempersulit mereka bekerja mencari nafkah.
Sesekali saat berjalan-jalan mengelilingi lahan sawit keluarga, saya masih bisa menyaksikan ular-ular lewat selintas. Walaupun mengancam nyawa, biasanya binatang ini tidak punya kepentingan mengganggu pohon sawit. Justru mereka hidup dari memangsa burung-burung dan tikus yang hidup sehat di antara dedaunan sawit yang lebat. Di Indonesia, sangat lazim bagi petani bekerjasama dengan hewan pemangsa tikus seperti ular dan burung hantu.
Tertusuk duri si ulat bisa berakibat bengkak dengan rasa nyeri hingga berminggu-minggu pemulihannya. Waktu yang lebih lama akan dibutuhkan bila si ulat sudah menyerang kebun hingga yang terlihat hanyalah kumpulan pohon sawit gundul dan tinggal lidinya saja. Pohon-pohon dengan kondisi ini biasanya akan mogok berbuah.
Namun petani tentu tak hilang akal menghadapi hama ini. Pembasmian secara alami biasa dilakukan melalui burung-burung karnivora atau mengembangbiakkan serangga predator seperti Sycanus
Salah Paham soal Nasib Orangutan
Saya ingin secara khusus membahas petani dan Orangutan karena beberapa kali saya mendengar kabar di media tentang petani sawit yang disalahkan atas kematian atau disiksanya Orangutan. Saya sendiri sempat menghabiskan waktu sekitar 2 tahun saat kecil, mengamati awal pembukaan kebun sawit orangtua. Saya bersaksi tak pernah terlihat Orangutan.
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau menyebutkan populasi Orangutan di Pulau Sumatera sekitar 6,600 ekor. Tapi jika sesekali  bermain di kebun sawit, yang banyak saya dengar adalah suara kera atau siamang, yang berpotensi lebih bersahabat dengan petani. Kadang jika berhasil dijinakkan, primata jenis beruk bisa menjadi mitra pemetik kelapa. Â
Ini bukti bahwa hewan-hewan di sela-sela perkebunan sawit atau karet sesungguhnya bisa berdampingan dengan manusia pengelolanya. Seingat saya mereka bukan mengincar sawit, tapi buah-buahan lain yang terasa manis.
Saya tidak pernah mendengar di wilayah sekitar kami ada Orangutan yang dilukai, disiksa, atau bahkan dibunuh seperti yang ramai diberitakan. Tidak segampang itu juga menaklukkan Orangutan karena mereka jauh lebih cerdas dari kera. Badannya juga lebih besar dan tangannya kuat, sehingga kalau mengamuk bisa balik membunuh penyerangnya. Sama saja bahayanya dengan gajah atau babi hutan seperti di awal cerita saya. Terlihat pun petani jarang yang mau mengganggu.
Ada hal lain yang tak kalah menarik dari kehidupan buruh sawit. Saya akan sampaikan di artikel berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H