Rumah Kang Hadi sederhana dengan banyak sentuhan artistik tradisional dari berbagai penjuru Indonesia dan dunia. Di parkirannya ada dua mobil. "Tapi kalau teu perlu-perlu amat, saya ga terlalu suka nyetir mobil euy. Enakan momotoran." Berada di puncak karir tak membuatnya menikmati kehidupan mewah.
Sekitar 15 menit ke Lembang, tepatnya di sebelah laboratorium Bosscha, kami sampai di SOS Children's Village. "Dulu namanya SOS Kinderdorf. Didirikan orang Austria,Hermann Gmeiner, Â filiantropis yang juga mengalami kepahitan hidup jadi yatim piatu. Nah, usai perang dunia 2, banyak anak-anak kehillangan kasih sayang orangtua, sehingga dia kemudian mendirikan SOS Kinderdorf dan mendapat dukungan banyak pihak."
Begitu sampai di gerbang SOS Kinderdorf, Kang Hadi menolak saat saya tawarkan membukakan pintu gerbang. "Gapapa biar saya saja." Sesuatu yang sedikit membuat saya tidak enak hati karena posisinya yang lebih senior. Tapi tampaknya memang seperti itulah Kang Hadi, tidak segan melakukan hal-hal kecil dan remeh dalam aktivitas kesehariannya.
"Saya ingat dulu waktu pertama mengabdi di sini, jadi lulusan Astronomi ITB, karir sebenarnya sangat layak. Waktu itu kami membesarkan sapi. Suatu hari tempat ini kosong, tidak ada yang mengurus sapi yang sudah menjerit-jerit kelaparan. Ya sudah saya ambil aja arit dan memotong rumput untuk memberi makan sapi-sapi itu. Bayangkan, lulusan ITB ngarit rumput buat kasih makan sapi, hahahaha," katanya sambil tertawa-tawa.
Ngobrol dengan Kang Hadi sangat tidak berjarak. Ia bisa menceritakan apa saja tanpa merasa harus jaim, bahkan dengan kondisi merendahkan dirinya sekalipun.Â
"Dulu ada remaja di sini yang melawan ke saya. Entah kenapa dia begitu benci dengan saya. Tempat saya tidur dibanjiri dengan air. Motor saya dikencingi. Anak-anak yang lain mengadukan dia sebagai pelakunya. Tapi ketimbang marah, saya memilih tetap memberikan senyum, walau dia selalu buang muka. Hasilnya dipetik saat dewasa. Dia sekarang sudah jadi orang berhasil, jadi salah satu sahabat akrab saya."
"Pengabdian seperti ini memang membuat kita harus menekan ego. Saya harus melayani ribuan anak. Ego adalah masalah terbesar yang merusak komunikasi manusia," tambahnya lagi. Sambil berkeliling kampung anak ini, saya melihat bahwa anak-anak tersebut memang diurus dengan sangat teliti dan berdedikasi.
Luar biasa.