Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bapakku Petani Sawit (dan Hal Penting yang Harus Kalian Rasakan)

3 Agustus 2020   04:56 Diperbarui: 8 Agustus 2020   20:32 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Monokultur sudah jadi praktik di banyak perkebunan sawit. Dan menukarnya menjadi heterokultur tak segampang yang diteorikan banyak orang. Bapakku sudah mencoba mengkombinasikan dengan karet, tapi apa daya harga karet pun jatuh. Sekarang ia mulai mencoba menanam pinang. Tapi tetap saja, menebang sebagian besar sawit yang masih produktif butuh banyak biaya. Pohonnya sudah terlanjur besar dan tinggi untuk dicabut.

"Sekarang petani banyak yang menangis dan stres. Mereka yang pensiun dan terlanjur menanamkan uang pensiunnya akhirnya pulang kampung tanpa membawa apa-apa," kata bapakku saat terakhir pulang dan mengajak jalan-jalan.

Kotaku yang pernah begitu ramai dan makmur karena jadi penghasil minyak bumi sekaligus minyak sawit tiba-tiba lesu dan kosong. Banyak rumah yang tak terawat, halamannya yang dulu hijau kini menguning. Orang-orang tua dengan tatapan kosong lalu lalang di jalanan. Padahal dulu kami begitu bangga dengan kota ini, "Atasnya minyak, bawahnya juga minyak."

Secercah harapan kini mulai muncul sejak Indonesia mulai melawan tekanan dari banyak negara atas CPO yang selalu dikampanyekan tidak ramah lingkungan. Juga program ambisius pengolahan sawit menjadi biodiesel D100. Akibatnya perlahan harga sawit mulai naik lagi. Tapi tak pernah setinggi dulu.

Dan terbukti setelah banyak perusahaan besar dihukum keras karena membakar lahan, bencana asap serentak berhenti di semua provinsi. Terbukti bukan petani kecil dan penduduk asli yang menyebabkan itu semua.

Petani-petani kecil itu masih menunggu kapan lahan-lahan itu bisa mengisi perut kosong keluarga mereka. Bahkan bisa membuat mereka mengirimkan anak-anaknya kuliah di kota besar dan bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik.

Seperti keluargaku, yang tak lagi harus menikmati sarden belah empat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun