Bapakku petani sawit, setelah minyak bumi tidak lagi terlalu besar prospeknya di kota kami, Duri, Riau. Ia sebenarnya mekanik alat berat di Chevron dengan penghasilan yang tidak terlalu mewah. Aku ingat kami harus membagi ikan sarden belah empat waktu kecil untuk bisa menikmatinya. Hidup kami tidak berkelimpahan.
Tapi aku tahu ia orangtua yang ulet. Dari gaji yang tak seberapa, ia mencari banyak penghasilan di luar, mulai dari jualan beras, menanam rambutan di ladang, dan menjelang pensiun ia belajar menanam sawit.
"Papa ke ladang saja terus! Urus aja sawitnya!" Teriakku kecewa saat ia jarang sekali di rumah. Saat dewasa, aku baru tahu kata-kata itu begitu menyakiti dan membekas di hatinya. Tapi keteguhannya terbayar saat kami mulai kuliah. Hampir dari seluruh investasi sawitnya itulah yang membayar masa depan kami semua. Kami semua lulus S1 atau D3 dan kini bisa punya penghasilan cukup karenanya.
Walau tak setuju, ia sering membawaku ke ladang. Ia selalu mengingatkan, setelah mereka tiada nanti, kami akan mewarisinya, dan tidak boleh bertengkar karena tak tahu lahan mana saja yang dimiliki bapakku.
Bapakku petani sawit, dan ia menikmati tingginya harga sawit waktu harga minyak juga meroket awal tahun 2000an. Kami jadi berkecukupan saat ia menginvestasikan banyak sekali uang pensiunnya dengan membeli beberapa hektar lahan sawit. Memang tak sebesar lahan sawit perusahaan. Di tempat kami, waktu itu 8--10 hektar lahan sawit yang dirawat baik bisa mengubah ikan sarden yang dulu harus dibagi empat, bisa kami nikmati satu orang seekor. Lantai rumah kami berganti marmer licin dan di belakang rumah, beberapa kontrakan dibangun.
Tidak semua orang setekun bapakku yang petani sawit. Banyak juga yang memanfaatkan uang pensiunnya dengan cara serupa, lalu bangkrut karena tidak pernah merawatnya setekun bapakku. "Lihat yang di sebelah sana, pohonnya kurus dan tak berbuah. Alam itu memberikan apa yang kita tabur. Sepertiga untuk pupuk, air dan dikembalikan ke alam, sepertiga untuk pekerja, sepertiga untuk kita ambil dan nikmati."
Ia punya tiga petani penggarap yang kemudian mampu membangun rumah dan beranak pinak dari hasil menggarap sawit kami. Terakhir, mereka pensiun dengan memiliki lahan sendiri, sebagai kebun sawit rakyat.
Tidak semua orang bisa seberuntung bapakku yang masih memiliki tabungan untuk menggarap lahan cukup luas. Kebanyakan petani sawit rakyat hanya mampu membeli dua hingga tiga hektar lahan sawit.Â
Pohonnya hanya hasil membibitkan sendiri, sehingga produktivitasnya pun kurang. Dari hasil tak seberapa itu, mereka bertahan hidup dari tahun ke tahun, sehingga batang sawitnya melebihi usia 25 tahun dan mulai berhenti berbuah. Jika sudah begitu, mereka akan kebingungan menanam kembali, karena uang panennya hanya cukup untuk makan.
Menanam sawit di tempat kami adalah pengorbanan luar biasa. Petani sering berkonflik dengan gajah yang lahannya sudah direbut perusahaan-perusahaan besar.Â
Karena banyak lahan perusahaan dipagar listrik dan dibangun kanal, maka migrasi gajah berbelok, melewati lahan petani kecil. Pohon sawit yang jumlahnya tak seberapa itu menjadi korban saat gajah tersebut kelaparan, apalagi kalau yang dilewati sawit yang baru tumbuh.