Mungkin bila dibina dengan baik, maka kopi Pontianak bisa mencuat dan diincar banyak kolektor. Namun tentu saya senang, setidaknya mitos bahwa Kalimantan tidak menghasilkan kopi sudah terbantahkan. Ternyata ada kok.
Menjelang maghrib, Hermawan kebali menjemput untuk kemudian kami berkumpul di Kafe Lain Hati. Dengan suasana yang nyaman dan asyik, kafe ini menjadi magnet bagi anak-anak muda Pontianak, termasuk para pegiat sosial. Jadi cocok sekali.
Di perkumpulan ini, saya berusaha mengenali kegiatan sosial apa yang sudah ada di Pontianak untuk kemudian dinurtur oleh Inovator 4.0 Indonesia. Setelah saya laporkan kepada Mas Budiman Sudjatmiko dan Tedy Tricahyono, kami sepakat akan membuatkan grup dan bimbingan kepada mereka di pertemuan selanjutnya.
Lepas dari Kafe Lain Hati, saya memutuskan menginap di Airy Reformasi di Gang Teknik 2. Di sini sangat nyaman, dengan biaya sewa hanya Rp 150 ribuan per malam.
Paginya, saya terbangun dan lapar sekali. Kali ini saya sarapan di salah satu rumah makan yang dimiliki orang Minang.
Seperti juga Melayu, pendatang dari Sumatera Barat juga cukup ramai di sini, sehingga terciptalah fusi makanan Melayu dan Sumatera Barat. Dan tebak, akhirnya saya menemukan juga sayur pacri yang diceritakan Hermawan.
Kebetulan Si Ibu juga membuat masakan minang rumahan, salah satunya adalah sambal lado tanak yang sudah lama sekali saya kangeni. Agak-agak belang karena sambal lado tanak dasarnya pedas sekali, sementara pacri manis sekali karena gula dari nenasnya. Ditambah pula nasi goreng. Campur aduk haha. Tapi sambil ditemani alunan lagu Chrisye jadinya nikmat sekali. Tampaknya Ibu pemilik warung adalah fans Chrisye.
Cinta, akan kuberikan
bagi hatimu yang damai
Cintaku gelora asmara
seindah lembayung senja...
Saya menikmati sarapan pagi itu karena benar-benar sebuah pengalaman baru, menikmati makanan ala Kalimantan. Memang belum sampai spesifik makanan Suku Dayak, tapi bila ada kesempatan, akan saya cari lagi sampai ke makanan eksotis dan ekstrimnya. Semoga saja kesampaian suatu saat.
Sambil menghabiskan waktu menunggu pesawat pulang ke Jakarta, saya mencoba lagi mie singkawan di salah satu kafe, namanya kafe D'Bodas. Kali ini mienya mirip soun atau bihun. Tapi rasanya kurang lebih sama, minus sambal lengkuas.
Akhirnya tiba waktunya saya kembali ke Jakarta. Sambil berkejaran dengan hujan, saya berusaha tepat waktu untuk check in sebelum pukul 19:00 karena pesawatnya akan tebang pukul 20:00.