"Itulah enaknya tinggal dekat laut pak, ikannya selalu dan pasti segar," Pak Nursuhud terkekeh. Ia lalu menceritakan pengalamannya dulu saat bertugas di Aceh, mengurusi berbagai daerah yang terkena tsunami.
"Ya, banyak di kita itu korbannya terjadi karena lalai, tidal mengerti. Harusnya saat air laut surut tiba-tiba, langsung melarikan diri ke tempat yang lebih tinggi. Ini malah sibuk mengumpulkan ikan yang menggelepar di tepi pantai," Pal Nursuhud tersenyum simpul.
Pertama kali saya tahu keberadaan sambal ini adalah dari karya NH Dhini. Ternyata sambal ini mengalami beberapa kali pemrosesan, yang membuatnya jadi kental dan rasanya lebih tajam nikmat, walaupun tidak lagi pedas.
"Itu padahal gampang bikinnya. Cabe, tomat, bawang, terasi kalau ada. Diulek sedikitm terus digoreng, habis itu diulek lagi. Jadi sambal bajak khas tempat saya, Banyuwangi," terang Ibu pembuatnya. Pantaslah sambal ini terasa begitu berat dan berminyak.
"Kalau masakan khas Pacitan ini ya Soto Pacitan. Nanti cari saja di sekitar alun-alun." Saran Pak Nursuhud. Saya keemudian jadi penasaran dan bertanya bedanya dengan soto lain.
"Kalau bedanya dengan soto lain ya soto ini bening, ringan rasanya. Lalu di dalamnya ada campuran kacang yang membuat gurih," Terang Pak Nursuhud.
Tampaknya memang untuk di kota-kota kecil seperti Pacitan, memang #AplikasiUntukSemua ini sedikit lebih bisa diandalkan karena #SelaluBisa. Ya sudah dengan harga hanya Rp 9.000 saya minta diantarkan ke alun-alun, masih dengan sisa OVO yang tak habis dari kemarin.
"Lagi di mana Mas?" Tanya Pak Nursuhud di telepon. Lupanya beliau mulai khawatir karena saya keluar rumah berjam-jam. "Ini ada teman mau ngajak ngobrol-ngobrol," Maka saya segera pulang dan berdiskusi dengan Mas Firman, pegiat sosial dan politik di Pacitan.Â