Dan jika melihat tulisan Dahlan Iskan di atas, maka jelas apa yang sebenarnya hendak dituju Jokowi, dan dari sanalah kita bisa menilai bahwa ia mau melakukan apapun yang diperlukan. Termasuk "menyingkirkan" orang-orangnya sendiri  yang populis namun berpotensi merusak keutuhan kabinetnya.Â
Seteru antara Rizal Ramli dan Sudirman Said sudah memperlihatkan ketegasan itu. Keduanya akhirnya terlempar keluar.Â
Pun demikian dengan relawan-relawan yang terus ngotot menyodorkan calonnya. Jokowi benar-benar menerapkan "Saya sudah tidak punya beban." Sampai saat ini, belum benar-benar ada paksaan relawan yang didengarkan, termasuk ormas-ormas relawan yang mengancam membubarkan diri karena merasa pendapatnya tidak diterima. Jokowi tidak terlihat bergeming.Â
Bahkan saat semua terhenyak saat Prabowo mendapat posisi Menhan. Bukan relawan saja yang ribut, bahkan partai pendukung seperti NasDem pun jadi belingsatan dan menawarkan diri menjadi partai oposisi saja sekalian, saking kesalnya.
"Kalau tidak ada yang oposisi, Nasdem saja yang jadi oposisi," kata Surya seperti dilansir dari Kompas TV, Senin pada tanggal 20 Oktober 2019.Â
Mereka hanya bisa pulang dengan kecewa. Jokowi tetap melenggang berkuasa.. Ya memang seperti itulah gaya pemimpin yang disangka klemer-klemer tersebut. Ia benar-benar secara konsisten menjalankan klaim "tidak punya beban." Ya, bahkan tidak ada beban untuk menuruti rengekan pendukungnya sendiri.Â
Yang lebih lucu mungkin Partai Demokrat, yang sudah berkali-kali hilir mudik menjajakan putra mahkota AHY. Sempat ditanggapi positif, ternyata juga PHP. Tak ada satupun kursi menteri yang diberikan kepada Partai Demokrat, padahal AHY lah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan klan Yudhoyono, setelah SBY menjadi terlalu tua dan tidak lagi terlihat berseri setelah ditinggal istrinya sendiri. Dengan demikian, sia-sialah sudah tim hore Demokrat yang memang selama ini terkenal riuh. Juga tidak ada jatah sedikitpun untuk PAN, PSI, dan PKS.Â
Nama terakhir memang sedari awal sudah berteriak akan jadi oposisi. Mungkin malu juga mereka harus menerima kenyataan sudah konsisten menjelek-jelekkan Jokowi sejak upgrade dari walikota menjadi Gubernur. Sementara PAN, di periode lalu terbukti tidak loyal, sehingga tak hersan ikut gerbong penyingkiran. Tapi yang paling tragis tentu nasib PSI. Walaupun memang dari jumlah kursi bisa dibilang nol besar, namun PSI termasuk yang sudah berdarah-darah membela Jokowi saat pilpres.Â
Maka bisa disimpulkan, Jokowi memang bermaksud membangun koalisi besar namun dengan pengorbanan yang efisien, tak berlebihan. Merangkul Gerindra jauh lebih memberikan efek besar di penguasaan parlemen oleh koalisi pendukung pemerintahan.
Gerindra adalah partai tiga besar, sementara PAN dan Demokrat semakin terpuruk oleh suara yang anjlok. Memberikan kursi dua menteri tentu lebih masuk akal ketimbang mengharapkan dukungan tak loyal dengan harga tiga kursi bagi masing-masing partai berwarna biru. PSI? Jelas tak punya nilai kursi apapun di parlemen.Â
Menurut saya, entah bagi kita para relawan langkah ini memuaskan dan menyenangkan atau tidak, Jokowi sedang melakukan langkah yang cukup tajam dingin, dan menyayat layaknya sebuah pisau lipat kecil. Ia tega membuat siapapun kecewa untuk sebuah perjalanan kekuasaan yang aman, termasuk pendukungnya sendiri.