Saya coba cek ke Airy untuk bisa mendapatkan harga promosi, langsung dipotong, "Oh kalau Airy tidak berlaku lagi, kamarnya kami tutup." Saya pun menatap bengong.
"Ya kalau gitu kasih tanda Airy di depan hotel buat apa toh," rutuk saya semakin lirih karena kesal yang makin tak tertahankan.
Kecewa, lelah, sedih, marah, bercampur aduk jadi satu. Nah saya juga lupa kalau uang saya sudah benar-benar habis. Rogoh katong tas, dapat recehan kembalian, cuma sisa Rp 7.000. Karena hausnya sudah luar biasa, saya belikan es tebu. Sisa Rp 2.000.
"Di mana ATM di sini?" Warga yang saya tanyai tampak kebingungan dengan istilah ATM, sampai saya tepuk jidat. "Bank.. Bank.. Mandiri? BCA?"
"Oh. Â Ada, depan sekolah." Katanya menunjuk ke arah timur. Tampak orang sini memang singkat sekali kalau bicara. Sulit dimengerti.
"Jauh tidak?" Saya memastikan, sebelum benar-benar berjalan.
"Eee.. ya cukup jauh kalau jalan kaki."
Saya perhatikan ke arah jalan. Ada angkot tiap setengah jam sekali. "Itu berapa ongkos angkotnya?" Dia tidak menjawab. Lalu melengos dan kembali dengan aktivitas dagangnya. Benar-benar bikin emosi jiwa!
Dan ungkapan cukup jauh di sini itu lebih tepat diartikan sebagai "Sangat jauh". Setelah 1,5 km berjalan, barulah saya sampai di ATM yang dimaksud. Saya colok kartu ATM, yang keluar malah keterangan kartu ATM saya ditolak karena beda bank. Padahal ya zaman sekarang hampir semua bank sudah bisa bertukar kartu ATM.
Saya coba pindah lagi ke sebelahnya, sama saja. Network error. Sungguh tidak praktis.
Setelah berputar-putar di beberapa mesin, akhirnya ada yang jalan normal. Saya ambil beberapa puluh ribu. Lalu jalan ke restoran depan. Ada pasangan Chinese yang terlihat cukup tua. Jualannya cukup sederhana, nasi dan mi goreng. Tapi mata saya terpaku kepada nasi goreng merahnya.