Saat pagi menjelang, saya menikmati sekali mandi di showernya yang hangat. Beres handukan, pintu diketuk. Saya mendapat nasi gudek dalam kemasan yang rapi sekali dengan secangkir teh hangat. "Lumayan ini untuk mereka yang sendirian, bisa disimpan sarapannya untuk siang nanti," Kalau dihitung-hitung tentu sangat berharga dibanding sewa kamarnya yang cuma Rp 220an ribu semalam. Belum lagi dikurangi dua botol air mineral dan tiga bungkus snack. Dihitung-hitung biaya menginap saja dari hotel ini hanya sekitar Rp 150 ribuan jika dipotong berbagai fasilitas di atas.
Usil lagi berjalan-jalan menyusuri Jalan Puri Asmoro ke arah utara, saya menemukan berbagai makanan China yang semakin spesifik. Untuk sarapan, saya temukan onde-onde di Kedai Onde-Onde Mbah Nyol. Tidak di seperti di Sumatera, yang berbentuk hijau dengan gula enau cair dan ditaburi parutan kelapa namanya kelepon. Sementara onde-onde sendiri adalah kue berbentuk bola yang di dalamnya ada rongga, yang diisi lagi dengan adonan kacang hijau. Lalu ada campuran wijen di permukaannya.
Di kedai ini juga saya memesan pepes kaki katak. Oke, karena namanya aneh, saya minta bungkuskan satu untuk nanti dimakan saat makan malam. Pepes bisa bertahan cukup lama asalkan tidak dibuka dari bungkus daun pisangnya, apalagi yang saya pesan ini pepes yang dipanggang, sehingga hasilnya lebih kering.
Lucunya walau daging katak dan bulus di sini mungkin bagi banyak orang dirasakan haram, yang menjualnya malah orang muslim. Mba-mba penyajinya malah mengenakan jilbab. Tapi buat saya ya sudahlah. Kategori haram bagi saya sesuai dengan ayat Alquran saja, babi, anjing, bangkai, dan darah. Daging bulus tidak termasuk kategori itu kan?
Rasa daging bulus kalau dideskripsikan kira-kira mirip dengan daging kambing muda. Bedanya, daging ini memiliki tiga warna, merah di bagian dalam, putih mirip daging ayam di area luar, dan lunak dan bergelatin di bagian kulit. Kulitnya sendiri lebih tebal dibanding kulit kaki sapi. Jadi menggigit daging bulus ini paling enak saat ketiga daging tersebut disatukan dalam satu suap. Hmm.. daging merah yang rasanya tajam, daging putihnya yang lembut, dan rasa kenyal lengket dari bagian kulitnya menyatu. Sungguh pengalaman yang luar biasa!
Yang agak menyebalkan mungkin hanya potongan bawang putih goreng yang disajikan terlalu banyak. Rasanya pahit sekali saat tergigit. Jadi saya sarankan kalau lain kali ada yang tertarik mencoba, mintalah piring kecil untuk memisahkannya dari kuah bulus ini.
Berapa harga pengalaman mencoba daging bulus? Cukup sekitar Rp 40 ribu saja!
Malamnya, saya ditelepon Deyna. Ia juga setuju untuk kopdar. Saya tawarkan di Simpang Lima saja, karena terus terang rumahnya ada di selatan kota. "Kejauhan," Tawar saya saat ia minta bertemu di rumah saja. Lalu kami sepakat makan di Simpang Lima. Sama saja, di sana bergosip soal kehidupan sebagai relawan, lalu soal keluarga dan pasangan, karir, sampai lagi-lagi bully dari kelompok #99Army binaan @partaisocmed.
"Ya emang menyebalkan, tapi sudah resiko kita kalau berbuat kebaikan pasti akan banyak yang iri dan memfitnah. Itu ga akan menghentikan saya berbuat sesuatu untuk orang lain," Saat Deyna mengeluhkan ribetnya melihat timeline saya di media sosial.
Di Cirebon saya bertemu seorang penulis yang dulu juga wartawan, Mas Ben Bernadhie. "Terima kasih mas untuk dukungannya, saya sempat kehilangan semangat hidup, sampai akhirnya terinspirasi lagi untuk menulis setelah disarankan ikut kelas The Writersnya Budiman Hakim," Tutur Mas Ben.
Ya, terus terang menulis di berbagai media cetak memang sudah tak bisa diandalkan lagi sebagai sumber penghidupan. Bagaimanapun peran teknologi dan media sosial sudah banyak menggantikan para penulis konvensional. Satu per satu koran dan majalah bertumbangan, Tapi tentu masih banyak celah bagi kita yang bisa menyiasati dari mana sumbernya rezeki tanpa harus kehilangan idealisme.
Saya teringat kembali tujuan saya mengarungi Indonesia, melaksanakan pesan Om Budiman Hakim, "Sebelum mati, minimal tulislah satu buku!" Dan terus terang karena selama ini banyak berperan jadi ghostwriter, tulisan-tulisan saya malah jadi karya orang lain. Sudah resiko memang, tapi saya yakin sekarang sudah waktunya bagi saya untuk menulis bagi diri sendiri, menceritakan apa yang saya lihat, apa yang saya dengar, apa yang saya sentuh, dan apa yang lidah saya rasakan.
Setelah diantar kembali oleh Mas Ben ke Terminal Harjamukti Cirebon, saya kembali berusaha membeli tiket eksekutif. Ya sudah hak saya harusnya membeli pelayanan terbaik setelah lelah sekitar 4 hari bolak-balik Jakarta, Solo, Jogja, Klaten, Boyolali, Semarang, dan Cirebon. Tapi sungguh menyebalkan sekali saat tiket yang dijanjikan ada toilet dan kursi yang nyaman, ternyata dipersilakan masuk ke bus cepat biasa. Sudah begitu ngetem lama pula sekeluar terminal dan tidak lewat tol.
Tapi ya sudah, saya nikmati aja perjalanan ini. Hampir 8 jam lamanya hingga ke Jakarta, dari yang seharusnya 4,5 jam saja kalau naik mobil lewat tol. Sudah begitu diturunkan di Cawang di tengah-tengah tol pula. Jelas ini berbahaya dan tindakan tidak disiplin dari pengemudi bus, yang membuat saya mengelus-elus dada.
"Ayo, Bang! Ke Cawang turun aja, di bawah.." Panggil seorang tukang ojek di seberang jalan tol, mengagetkan lamunan saya yang kebingungan melihat jembatan tol ini, entah bagaimana cara turunnya. Bang Gojek itu kemudian menuntun saya turun dan menawarkan pulang ke rumah. "Lima puluh ribu aja!" Sahutnya. Saya tawar jadi empat puluh ribu rupiah. Dia setuju.
Dan berakhirlah perjalanan panjang saya kali ini, menyambut kembali kesibukan di Jakarta. Ke mana selanjutnya saya akan berjalan-jalan dan mencoba berbagai kekayaan kuliner Nusantara? Tunggu saja di artikel berikutnya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H