Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Semarang, Surga Kuliner yang Tiada Habisnya (2)

2 Oktober 2019   02:27 Diperbarui: 2 Oktober 2019   03:23 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bandara Ahmad Yani, Semarang. Dokpri

Saat pagi menjelang, saya menikmati sekali mandi di showernya yang hangat. Beres handukan, pintu diketuk. Saya mendapat nasi gudek dalam kemasan yang rapi sekali dengan secangkir teh hangat. "Lumayan ini untuk mereka yang sendirian, bisa disimpan sarapannya untuk siang nanti," Kalau dihitung-hitung tentu sangat berharga dibanding sewa kamarnya yang cuma Rp 220an ribu semalam. Belum lagi dikurangi dua botol air mineral dan tiga bungkus snack. Dihitung-hitung biaya menginap saja dari hotel ini hanya sekitar Rp 150 ribuan jika dipotong berbagai fasilitas di atas.

Usil lagi berjalan-jalan menyusuri Jalan Puri Asmoro ke arah utara, saya menemukan berbagai makanan China yang semakin spesifik. Untuk sarapan, saya temukan onde-onde di Kedai Onde-Onde Mbah Nyol. Tidak di seperti di Sumatera, yang berbentuk hijau dengan gula enau cair dan ditaburi parutan kelapa namanya kelepon. Sementara onde-onde sendiri adalah kue berbentuk bola yang di dalamnya ada rongga, yang diisi lagi dengan adonan kacang hijau. Lalu ada campuran wijen di permukaannya.

Onde. Dokpri
Onde. Dokpri
"Itu paling repot kalau naro wijennya, harus ditotol satu per satu," Kata Ibu pemiliknya. Tentu saja ia bercanda, dan tertawa terbahak-bahak saat saya kebingungan mendengar ceritanya waktu ditanyai resep membuat onde-onde yang enak.

Di kedai ini juga saya memesan pepes kaki katak. Oke, karena namanya aneh, saya minta bungkuskan satu untuk nanti dimakan saat makan malam. Pepes bisa bertahan cukup lama asalkan tidak dibuka dari bungkus daun pisangnya, apalagi yang saya pesan ini pepes yang dipanggang, sehingga hasilnya lebih kering.

Pimbak alias bulus. dokpri
Pimbak alias bulus. dokpri
Tapi tidak ada yang lebih membuat saya penasaran saat menemukan restoran China yang menjual daging bulus. Sudah lama saya ingin merasakan daging hewan yang mirip kura-kura ini. Untuk makan siang, saya pilih daging bulus yang dijual di Restoran Koh Hoo. Pimbak, demikian mereka menyebutnya di daftar menu. "Itu daging bulus dimasak dengan ramuan herbal, enak dan sehat, untuk menambah stamina," Terang mas-mas penjualnya.

Lucunya walau daging katak dan bulus di sini mungkin bagi banyak orang dirasakan haram, yang menjualnya malah orang muslim. Mba-mba penyajinya malah mengenakan jilbab. Tapi buat saya ya sudahlah. Kategori haram bagi saya sesuai dengan ayat Alquran saja, babi, anjing, bangkai, dan darah. Daging bulus tidak termasuk kategori itu kan?

Rasa daging bulus kalau dideskripsikan kira-kira mirip dengan daging kambing muda. Bedanya, daging ini memiliki tiga warna, merah di bagian dalam, putih mirip daging ayam di area luar, dan lunak dan bergelatin di bagian kulit. Kulitnya sendiri lebih tebal dibanding kulit kaki sapi. Jadi menggigit daging bulus ini paling enak saat ketiga daging tersebut disatukan dalam satu suap. Hmm.. daging merah yang rasanya tajam, daging putihnya yang lembut, dan rasa kenyal lengket dari bagian kulitnya menyatu. Sungguh pengalaman yang luar biasa!

Yang agak menyebalkan mungkin hanya potongan bawang putih goreng yang disajikan terlalu banyak. Rasanya pahit sekali saat tergigit. Jadi saya sarankan kalau lain kali ada yang tertarik mencoba, mintalah piring kecil untuk memisahkannya dari kuah bulus ini.

Berapa harga pengalaman mencoba daging bulus? Cukup sekitar Rp 40 ribu saja!

bandara a yani dokpri
bandara a yani dokpri
Masih penasaran, saya melanjutkan jalan ke Bandara Ahmad Yani yang baru diresmikan terminalnya. Memang luar biasa. Walaupun secara ukuran masih kecil, tapi rapi dan licin sekali lantainya. Pengaturan ruangannya juga memudahkan interaksi penjemput dan pengantar maupun penumpang yang baru mendarat atau akan terbang.

bagasi bandara dokpri
bagasi bandara dokpri
Arsitekturnya juga sangat futuristik. Tidak terbayang kalau ini hanyalah bandara di ibukota Jawa Tengah, bukan Jakarta.

Malamnya, saya ditelepon Deyna. Ia juga setuju untuk kopdar. Saya tawarkan di Simpang Lima saja, karena terus terang rumahnya ada di selatan kota. "Kejauhan," Tawar saya saat ia minta bertemu di rumah saja. Lalu kami sepakat makan di Simpang Lima. Sama saja, di sana bergosip soal kehidupan sebagai relawan, lalu soal keluarga dan pasangan, karir, sampai lagi-lagi bully dari kelompok #99Army binaan @partaisocmed.

"Ya emang menyebalkan, tapi sudah resiko kita kalau berbuat kebaikan pasti akan banyak yang iri dan memfitnah. Itu ga akan menghentikan saya berbuat sesuatu untuk orang lain," Saat Deyna mengeluhkan ribetnya melihat timeline saya di media sosial.

pepes kaki katak. dokpri
pepes kaki katak. dokpri
Sambil menghabiskan kerang di Simpang Lima, saya jadi teringat pepes kaki katak yang saya beli sebelumnya di Puri tadi. "Tolong panaskan ya," Sahut saya kepada mba pelayannya, yang manis sekali mukanya. Saat dicoba, rasanya ya seperti daging ayam, kecuali mungkin ukurannya agak kecil, mirip burung dara yang pernah saya coba di Maliboro.

kerang dokpri
kerang dokpri
Larut malam, saya berpamitan ke Deyna, lalu melanjutkan perjalanan ke Cirebon, lagi-lagi dengan bus saja. Tidak terlalu banyak cerita di Cirebon yang bisa saya share, selain terminalnya yang bagus sekali. Mirip dengan terminal di Klaten, walaupun saya tetap menganggap Klaten dan Pulogebanglah yang terbaik penampilannya.

Di Cirebon saya bertemu seorang penulis yang dulu juga wartawan, Mas Ben Bernadhie. "Terima kasih mas untuk dukungannya, saya sempat kehilangan semangat hidup, sampai akhirnya terinspirasi lagi untuk menulis setelah disarankan ikut kelas The Writersnya Budiman Hakim," Tutur Mas Ben.

Mas Ben. Dokpri
Mas Ben. Dokpri
Umur Mas Ben ini sudah 60an tahun. Tapi dari badannya jauh lebih tegap dibandingkan saya. "Dulu saya sering menulis di Anita Harapan dan Kolom Sinar Harapan, mas. Semoga di sisa waktu hidup saya masih bermanfaat," Ungkap Mas Ben.

Ya, terus terang menulis di berbagai media cetak memang sudah tak bisa diandalkan lagi sebagai sumber penghidupan. Bagaimanapun peran teknologi dan media sosial sudah banyak menggantikan para penulis konvensional. Satu per satu koran dan majalah bertumbangan, Tapi tentu masih banyak celah bagi kita yang bisa menyiasati dari mana sumbernya rezeki tanpa harus kehilangan idealisme.

Saya teringat kembali tujuan saya mengarungi Indonesia, melaksanakan pesan Om Budiman Hakim, "Sebelum mati, minimal tulislah satu buku!" Dan terus terang karena selama ini banyak berperan jadi ghostwriter, tulisan-tulisan saya malah jadi karya orang lain. Sudah resiko memang, tapi saya yakin sekarang sudah waktunya bagi saya untuk menulis bagi diri sendiri, menceritakan apa yang saya lihat, apa yang saya dengar, apa yang saya sentuh, dan apa yang lidah saya rasakan.

Setelah diantar kembali oleh Mas Ben ke Terminal Harjamukti Cirebon, saya kembali berusaha membeli tiket eksekutif. Ya sudah hak saya harusnya membeli pelayanan terbaik setelah lelah sekitar 4 hari bolak-balik Jakarta, Solo, Jogja, Klaten, Boyolali, Semarang, dan Cirebon. Tapi sungguh menyebalkan sekali saat tiket yang dijanjikan ada toilet dan kursi yang nyaman, ternyata dipersilakan masuk ke bus cepat biasa. Sudah begitu ngetem lama pula sekeluar terminal dan tidak lewat tol.

Tapi ya sudah, saya nikmati aja perjalanan ini. Hampir 8 jam lamanya hingga ke Jakarta, dari yang seharusnya 4,5 jam saja kalau naik mobil lewat tol. Sudah begitu diturunkan di Cawang di tengah-tengah tol pula. Jelas ini berbahaya dan tindakan tidak disiplin dari pengemudi bus, yang membuat saya mengelus-elus dada.

"Ayo, Bang! Ke Cawang turun aja, di bawah.." Panggil seorang tukang ojek di seberang jalan tol, mengagetkan lamunan saya yang kebingungan melihat jembatan tol ini, entah bagaimana cara turunnya. Bang Gojek itu kemudian menuntun saya turun dan menawarkan pulang ke rumah. "Lima puluh ribu aja!" Sahutnya. Saya tawar jadi empat puluh ribu rupiah. Dia setuju.

Dan berakhirlah perjalanan panjang saya kali ini, menyambut kembali kesibukan di Jakarta. Ke mana selanjutnya saya akan berjalan-jalan dan mencoba berbagai kekayaan kuliner Nusantara? Tunggu saja di artikel berikutnya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun