Malamnya, saya ditelepon Deyna. Ia juga setuju untuk kopdar. Saya tawarkan di Simpang Lima saja, karena terus terang rumahnya ada di selatan kota. "Kejauhan," Tawar saya saat ia minta bertemu di rumah saja. Lalu kami sepakat makan di Simpang Lima. Sama saja, di sana bergosip soal kehidupan sebagai relawan, lalu soal keluarga dan pasangan, karir, sampai lagi-lagi bully dari kelompok #99Army binaan @partaisocmed.
"Ya emang menyebalkan, tapi sudah resiko kita kalau berbuat kebaikan pasti akan banyak yang iri dan memfitnah. Itu ga akan menghentikan saya berbuat sesuatu untuk orang lain," Saat Deyna mengeluhkan ribetnya melihat timeline saya di media sosial.
Di Cirebon saya bertemu seorang penulis yang dulu juga wartawan, Mas Ben Bernadhie. "Terima kasih mas untuk dukungannya, saya sempat kehilangan semangat hidup, sampai akhirnya terinspirasi lagi untuk menulis setelah disarankan ikut kelas The Writersnya Budiman Hakim," Tutur Mas Ben.
Ya, terus terang menulis di berbagai media cetak memang sudah tak bisa diandalkan lagi sebagai sumber penghidupan. Bagaimanapun peran teknologi dan media sosial sudah banyak menggantikan para penulis konvensional. Satu per satu koran dan majalah bertumbangan, Tapi tentu masih banyak celah bagi kita yang bisa menyiasati dari mana sumbernya rezeki tanpa harus kehilangan idealisme.
Saya teringat kembali tujuan saya mengarungi Indonesia, melaksanakan pesan Om Budiman Hakim, "Sebelum mati, minimal tulislah satu buku!" Dan terus terang karena selama ini banyak berperan jadi ghostwriter, tulisan-tulisan saya malah jadi karya orang lain. Sudah resiko memang, tapi saya yakin sekarang sudah waktunya bagi saya untuk menulis bagi diri sendiri, menceritakan apa yang saya lihat, apa yang saya dengar, apa yang saya sentuh, dan apa yang lidah saya rasakan.
Setelah diantar kembali oleh Mas Ben ke Terminal Harjamukti Cirebon, saya kembali berusaha membeli tiket eksekutif. Ya sudah hak saya harusnya membeli pelayanan terbaik setelah lelah sekitar 4 hari bolak-balik Jakarta, Solo, Jogja, Klaten, Boyolali, Semarang, dan Cirebon. Tapi sungguh menyebalkan sekali saat tiket yang dijanjikan ada toilet dan kursi yang nyaman, ternyata dipersilakan masuk ke bus cepat biasa. Sudah begitu ngetem lama pula sekeluar terminal dan tidak lewat tol.
Tapi ya sudah, saya nikmati aja perjalanan ini. Hampir 8 jam lamanya hingga ke Jakarta, dari yang seharusnya 4,5 jam saja kalau naik mobil lewat tol. Sudah begitu diturunkan di Cawang di tengah-tengah tol pula. Jelas ini berbahaya dan tindakan tidak disiplin dari pengemudi bus, yang membuat saya mengelus-elus dada.
"Ayo, Bang! Ke Cawang turun aja, di bawah.." Panggil seorang tukang ojek di seberang jalan tol, mengagetkan lamunan saya yang kebingungan melihat jembatan tol ini, entah bagaimana cara turunnya. Bang Gojek itu kemudian menuntun saya turun dan menawarkan pulang ke rumah. "Lima puluh ribu aja!" Sahutnya. Saya tawar jadi empat puluh ribu rupiah. Dia setuju.