Warung tenda yang saya masuki bernama Tarsan Moro Sae. Entah kenapa si mas nya menamai seperti itu. Daftar menunya di bagian akhir menunjukkan nama makanan unik yang membuat saya penasaran, babat gongso. Langsung saja saya pesan.
Ternyata babat gongso ya semacam tumisan daging babat sapi bercampur daun kol dan daun bawang. Babat adalah bagian lambung binatang pemamah biak, alias handuk, kalau di kampung saya. Sayangnya walaupun saya sudah memesan babat gongsonya pedas, ternyata masakan Semarang agak kurang pedas dibanding sambel belut yang saya pesan di Jogja, tapi tidak semanis Solo. Tapi karena penasaran ya saya coba saja. Lumayanlah, lembutnya daging babat berpadu dengan kuahnya yang tidak terlalu tajam namun kaya rasa rempah. Bisa diterima untuk lidah orang Minang seperti saya yang selalu ingin makanan berkuah, walaupun pedasnya kurang nendang.
Sesudah babat gongso disetor masuk perut, waktunya berbelanja oleh-oleh. Batik khas Semarang menarik mata saya, bentuknya sudah jadi celana pendek. Bolehlah ini untuk hadiah giveaway di media sosial.
Kembali ke hotel, saya tidur lagi. Memang Hotel Gapura Residence ini patut dipuji. Furniturnya mewah dan lengkap. AC juga dingin. Air hangat mengalir sepanjang waktu, tidak seperti beberapa hotel murah yang menjanjikan air hangat tapi ternyata harus menunggu di jam tertentu baru pemanasnya menyala. Masih ada lagi snack dan makan pagi disediakan.
Lagi-lagi, saya terlelap, untuk selanjutnya besok menikmati lagi kulineran di Semarang. Seperti apa? Akan saya ceritakan di artikel selanjutnya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Foodie Selengkapnya