Setelah pukul tujuh berlalu, saya kembali lagi ke lapak Bu Siti, kali ini sudah ada Bu Ida, temannya, yang menunggui. "Ini Pak, jajanannya sudah lengkap. Mau coba yang mana dulu?" Saya tertarik dengan kethak kere, versi lain dari blondo yang sudah terfermentasi. Kalau dipikir-pikir, rasanya mirip bumbu pliek di Aceh, sedikit tengik dan bau busuk menyengat, tapi rasanya enak, lebih gurih dan lembut dibanding blondo.
"Masnya ga akan mau makan ini. Kethak kere dimakannya paling enak sama growol, lauknya orang susah.." Terang Bu Siti. Jika dibandingkan dengan bumbu pliek, maka orang Aceh juga tak memakannya begitu saja, tapi dipasangkan dengan salak aceh alias buah rumbia.Â
Agak sulit tertelan memang kalau tidak biasa. Namun karena saya sudah mencoba pliek di Sawang, maka saat harus mencoba lagi rasa yang serupa, lidah saya tidak lagi terheran-heran.
Growol sendiri adalah makanan asli dari Purworejo. Makanan ini terbuat dari ketela pohon yang direndam, digiling, dipress, dan dikukus sampai jadi lunak. Makanan ini banyak dipasarkan di Jogja, dan dimakan saat sarapan bersama tempe bacem, gorengan, atau kethak kere.
"Kalau yang ini ayung-ayung. Semacam pepes, dari kelapa, tapi dicampur kacang tolo,' terang Bu Ida. Banyak yang menyangka ini ayung-ayung sebagai bothok. Namun jelas bukan bothok karena kalau bothok isinya udang, tempe, teri, atau tawon. Kalau ini lebih pantas dianggap makanan vegetarian karena hanya berisi kacang tolo. Tapi rasanya gurih dan manis sekali.
Lanjut jajanan tradisional berikutnya adalah grontol. Kalau ini sering saya temui saat jajan di SD di Riau dulu. Grontol adalah jagung yang direbus sangat lama sehingga warnanya menjadi putih dan diberi taburan parutan kelapa. Rasanya sangat manis dengan sedikit basah karena jagungnya dimasukkan begitu saja ke plastik setelah selesai direbus.
"Ayo mau coba apa lagi?" Tanya Bu Ida. "Kalau blondo yang kamu makan tadi enaknya dipasangin sama Uli," Timpal Bu Siti. Uli di Jogja agak berbeda dengan uli di Jakarta atau Bandung. Di sini, makanan dari ketan ini tidak dipanggang, tapi dimakan bergitu saja setelah ditaburi parutan kelapa.
Saya lalu menunjuk kue berbentu bola putih seperti mochi. Kata Bu Ida, makanan ini bahannya dari beras ketan, dengan nama entok. Tapi teman-teman di media sosial lebih sepakat menamainya jadah. Saya baru tahu bahwa bentuk jadah bisa saja seperti bulatan bola. Bila digoreng, namanya jadi gemblong.
"Gatot ada ga, Bu?" Tanya saya penasaran. Gatot adalah sejenis gaplek atau potongan ubi kayu, yang kemudian dijemur, dipotong kecil-kecil, dikukus, dan difermentasi sampai warnanya agak kehitaman. Untuk menambah rasa manis, biasanya ditambahkan gula merah.
Lepas mencoba gatot, masih ada lagi tiwul. Hehe, ga ada puasnya saya ini. Hampir mirip gatot. Bedanya tiwul dibuat dari singkong yang telah ditumbuk dan dipecah menjadi tepung. Tepung singkong bersifat lengket sehingga secara alami ia akan menggumpal, apalagi setelah ditambahi air. Setelah ditambahi gula dan parutan kelapa, tiwul akan menjadi makanan lezat dan sehat karena kaya serat, walaupun banyak orang meremehkan makanan ini sebagai makanannya orang miskin. Rasanya? Kalau dari segi aroma, agak bau apek. Tapi rasanya enak, manis dan sedikit kenyal namun masih menyisakan rasa kesat mirip tepung.
Terakhir adalah tempe gembus. Saya ambil dari seorang pedagang tempe di ujung utara pasar. Walaupun dulu pernah membeli saat berkunjung ke Ngawi, namun saya tidak sempat mencobanya karena keburu busuk sebelum digoreng.
Lihat Foodie Selengkapnya