Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Berjalan Solo ke Solo, Kotanya Pak Jokowi (2)

16 September 2019   01:13 Diperbarui: 16 September 2019   01:19 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlelap di Hotel Puri di Jalan Slamet Riyadi, paginya setelah azan Subuh saya buru-buru ke Bendung Tirtonadi mengambil foto matahari terbit. Dengan fasilitas LIVE dari Facebook berkat adanya sinyal 4G hingga di Sungai Pepe, saya bisa memberitahu seperti apa sungai di Sol kepada teman dan keluarga.

Bendung Tirtonadi memang bagus sekali, membentang dari arah timur ke barat, sehingga saya berniat membuat perbandingan antara sunset dan sunrise sebelum nanti meneruskan perjalanan ke Jogja. Sungai bersih rapi dan sesekali ada riak ikan, membuat pantulan matahari di air menjadi hidup.

Selesai memamerkan indahnya Sungai di Solo, saya mulai terpikir mencari sarapan. "Nggih, coba ke belakang terminal kalau mau cari jajan aneh-aneh," petunjuk dari Bu Jum yang saya temui dan ajak ngobrol di pinggir jalan. "Ada tumpang, enak dan murah meriah...." Tambahnya lagi.

"Apalagi ini tumpang?" Saya agak keras berpikir.

dokpri
dokpri
Berhubung penasaran, maka saya berjalan jauh sekali menelusuri Kali Pepe yang memang bercabang dari Bendung Tirtonadi ke perumahan di belakang terminal. Tapi rasanya sudah ratusan meter, tidak bertemu juga. 

Adanya tahu kupat, nama yang membuat saya lagi-lagi geli dengan cara orang Solo memberi nama makanan. Karena setahu saya di daerah lain namanya kupat tahu.

Sampai akhirnya saya bertemu dengan tulisan Kali Pepe di sekitar Jalan Cocak V. Di tepi kali, ada Warung Makan Perjuangan Bu Dhe Asih. Entah kenapa dia tulis seperti itu, mungkin fansnya partai banteng moncong putih, hehehe. Sekilas penampilannya seperti warteg, namun tidak dilengkapi etalase kaca. Bu Asih menyajikan seluruh sayur dan lauk pauknya dalam panci-panci besar.

"Itu tumpang apa ya, Bu?" Tanya saya menunjuk ke spanduk di warungnya.

Bu Asih hanya menunjuk salah satu pancinya, "Yang ini, mas mau pake sayur?" Kesannya kurang ramah, namun bisa dipahami karena warung ini ramai sekali. Ia terlihat sibuk melayani yang lain. Maka saya iyakan saja. "Iya pake sayur, Bu!" Lalu saya bawa nasi tumpangnya ke bangku yang tersedia di pinggir Kali Pepe. Indah sekali...

dokpri
dokpri
Saat disuap, saya baru sadar nasi tumpang sebenarnya mirip dengan sayur krecek di Jakarta. Bedanya kalau sayur krecek yang biasa saya makan di rumah mertua pakai kacang merah, maka tumpang menggunakan kedelai dari tempe yang diremas-remas sehingga pecah menjadi butiran kecil. Lalu ada sedikit tauge dan diselingi sayur nangka dan krecek, alias kulit sapi yang dibikin lembek dengan kuahnya.

dokpri
dokpri
Namun dari segi rasa, tumpang lebih mirip paduan antara tauge goreng, gulai tempe, dan gudeg, karena lebih manis dari krecek. Aroma kedelai dan tauge juga membaur jadi satu. Jika tidak ada kreceknya, maka sebenarnya makanan ini cocok untuk vegetarian. Nikmat sekali menikmati tumpang sambil dihembus semilir angin pagi. Setelah perut penuh, lalu dituntaskan oleh the hangat tawar. "Ahhh... nikmat sekali,"

"Berapa, Bu?" Tanya saya sambil merogoh dompet mencari uang Rp 50 ribuan, karena takut mahal. Soalnya enak sekali nasi tumpangnya. Dan jawaban Bu Asih sangat mengagetkan.

"Delapan ribu saja."  

Inilah yang saya kagumi di Solo. Mau makanan seenak apapun pasti harganya tidak memberatkan kantong. Pantaslah orang Solo selalu terbebas dari muka stres. Di sini biaya hidupnya rendah sekali. Bahkan dengan lima ribu rupiah pun kita bisa makan enak.

Selesai makan tumpang, saya terus membakar kalori ke arah Stadion Manahan, berniat pulang. Namun di peta saya lihat ada wilayah berwarna hijau cukup besar, menandakan ruang terbuka hijau atau taman.

dokpri
dokpri
Saya perhatikan namanya, Taman Balekembang. Ya sudah, Cuma memutar sekitar lima ratus meter, maka saya langsung melangkahkan kaki ke arah Balekembang.

Taman ini mirip dengan Setu Babakan di Jakarta. Di dalamnya ada kolam atau waduk cukup besar, dikelilingi beberapa bangunan dengan ukiran khas Solo. Dan seperti Setu Babakan, di sini sering diadakan pentas budaya. Saat masuk, saya tanyakan tiketnya, "Gratis saja kalau berjalan kaki," bapak-bapak penjaganya tersenyum ramah. Saya ucapkan terima kasih untuk senyumnya yang renyah itu.

Bedanya dengan Balekembang, di sini sekalian ada beberapa hewan yang bisa kita berikan makanan, di bagian ujung taman. Namanya Taman Kelinci. Spot ini jelas menjadi favorit anak-anak. 

Dengan Rp 5000 saja per orang, mereka bisa menikmati interaksi dengan burung hantu, domba, iguana, kura-kura, dan tentunya kelinci. Untuk membeli makanannya, harus disiapkan lagi Rp 5000 untuk semangkuk makanan kelinci atau sepotong wortel.

dokpri
dokpri
Kalaupun keberatan membayar, anak-anak bisa mengelus rusa yang dilepas di luar Taman Kelinci. Rusanya jinak sekali, tidak terlihat ketakutan saat didekati dan dibelai.

dokpri
dokpri
Selesai dari Taman Balekembang, saya melanjutkan ke arah Stadion Manahan, mengambil uang di ATM, minum es kacang hijau, dan terus ke flyover. Di sini saya takjub sekali karena dindingnya dilukisi mural yang cantik dan rapi. Lalu di lorongnya, dibuat cat bergradasi sehingga jadi cantik sekali. "Seperti mengunjungi negeri fantasi saja!" Gumam saya.

Terus berputar-putar beberapa kilometer lagi, akhirnya sampai kembali di Slamet Riyadi, dan langsunglah ngorok di Hotel Putri Sari hingga siang hari dan waktunya check out...

Zzzzzz...

Usai check out dengan penjaganya yang ramah, saya kembali menelusuri jalan berputar-putar menuju Terminal Tritonadi. Maksudnya sih kembali mencari makanan unik yang jarang ditemui di Jakarta. Tapi setelah lama sekali, akhirnya saya menyerah, pilihannya cuma Mie Bandung Like Gie.

"Ada muntahu dan koloke, Pak?" Saya coba yang memang belum pernah saya coba, namun sudah sedari tadi saya lewati berkali-kali. "Ada, tunggu saja di meja, nanti saya siapkan." Jawab Pak Gie.

dokpri
dokpri
Tak ada lima menit, keduanya terhidang. Porsinya besar sekali sehingga saya tidak lagi memesan nasi. Karena haus sekali setelah berjalan jauh, saya sampai memesan tiga minuman, milo dingin, nutrisari, dan air mineral.

Muntahu lebih mirip sup krim ayam, bedanya ada campuran potongan tahu dadu yang lembut, dan daung bawang yang besar. Rasanya nikmat sekali. "Pasti lebih enak lagi kalau dinikmati malam hari dengan minuman hangat," Pikir saya.

Sementara untuk ayam koloke, agak mengecewakan. Ternyata ini Cuma sedikit variasi dari ayam kluyuk yang pernah saya coba di Bandung. Bedanya, rasa dan aromanya yang asam dan manis lebih tajam ketimbang ayam kluyuk. Selain itu potongan sayur yang dimasukkan juga lebih banyak, dengan selingan bunga kol dan serpihan daging sapi.

Saya tanyakan kepada Pak Gie, apakah ia berasal dari Bandung? Ia tertawa, "Ya bukan."

"Terus kenapa nama warungnya Mie Bandung, Pak?" Tanya saya penasaran. "Ya nama masakannya yang populer saja Mie Bandung," Jawabnya.

Saya pun ikut terkekeh geli. Ya memang di sini standar penamaan untuk kuliner belum ada, jadi siapapun bisa mengklaim apa saja nama masakannya. Kalau sudah populer Mie Bandung, maka jadilah ia Mie Bandung.

Saya terus berjalan lagi ke arah Bendung Tirtonadi dan sampai di jembatannya. Sedikit kejutan, karena kini di salah satu ujungnya ada keris raksasa, seolah memang memperlihatkan karakteristik budaya Jawa yang memang melekat dengan keris.

Sesampai di sana, saya masih terngiang-ngiang dengan ucapan Pak Parno kemarin di pinggir kali. "Kalau mau tempat wisata yang unik, coba Astana Utara di belakang Pasar Nusukan. Di situ tempatnya orang ziarah dan lumayan mistis."

dokpri
dokpri
Maka saya berjalan sedikit ke arah Pasar Nusukan dan berbelok di gerbang penanda jalan menuju Astana Utara. Memang dari jauh suasananya agak mistis dan membuat bulu kuduk merinding. Ada hawa yang kurang enak yang menyapa saat saya membuka gerbangnya. Mirip yang saya temui di Museum Prasasti dan TPU Karang Suci di Cilacap.

dokpri
dokpri
Sayang saya tidak bisa masuk ke pemakaman Astana Utara begitu saja. "Minta izin dulu sama kuncennya," Jawab seorang Ibu-Ibu yang sedang berziarah dari dalam gerbang. Akhirnya saya memilih keluar saja setelah melihat-lihat bagian tamannya.  

dokpri
dokpri
Namun Astana Utara tetap menyimpan keindahan. Dan saat berkunjung di masjid sebelahnya, saya mulai merasa mengantuk saat melihat deretan kuburan yang tertata rapi. Nisannya menunjukkan tahun 1920an, memperlihatkan bagian ini sudah lama dan tua sekali. Di beberapa makim terlihat taburan bunga dan kendi air, memperlihatkan ahi warisnya atau peziarah masih rajin mengunjungi makam-makam di sini.

Lalu perlahan saya mengantuk lagi, dan tertidur singkat, hanya sekedar lima menit. Namun mimpi yang saya alami rasanya panjang sekali. Nyaris seharian! Dan di sana saya melihat visi yang indah sekali. Walaupun hanya warna-warna abstrak, namun membuat hati terhibur, senang.

Terbangun dan segar kembali, saya kembali ke arah Jembatan Tirtonadi. Beberapa tukang ojek keheranan melihat saya. "Ga nginep? Ziarah?" Tanya mereka berkali-kali. "Ga pak, main-main saja, terima kasih." Sambil dengan halus menolak tawaran mereka mengantar sampai tujuan.

dokpri
dokpri
Tepat pukul 05:00, saya menikmati matahari yang perlahan tenggelam, lalu membandingkannya dengan foto-foto tadi pagi. Indanya tetap luar biasa!

dokpri
dokpri
Setelah azan magrib menjelang, dan mentari menghilang perlahan, saya pun berjalan ke Terminal Tirtonadi, mencari bus untuk perjalanan berikutnya.

Ke mana? Ikuti saja cerita saya selanjutnya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun