Maka saya berjalan sedikit ke arah Pasar Nusukan dan berbelok di gerbang penanda jalan menuju Astana Utara. Memang dari jauh suasananya agak mistis dan membuat bulu kuduk merinding. Ada hawa yang kurang enak yang menyapa saat saya membuka gerbangnya. Mirip yang saya temui di Museum Prasasti dan TPU Karang Suci di Cilacap.
Sayang saya tidak bisa masuk ke pemakaman Astana Utara begitu saja. "Minta izin dulu sama kuncennya," Jawab seorang Ibu-Ibu yang sedang berziarah dari dalam gerbang. Akhirnya saya memilih keluar saja setelah melihat-lihat bagian tamannya. Â
Namun Astana Utara tetap menyimpan keindahan. Dan saat berkunjung di masjid sebelahnya, saya mulai merasa mengantuk saat melihat deretan kuburan yang tertata rapi. Nisannya menunjukkan tahun 1920an, memperlihatkan bagian ini sudah lama dan tua sekali. Di beberapa makim terlihat taburan bunga dan kendi air, memperlihatkan ahi warisnya atau peziarah masih rajin mengunjungi makam-makam di sini.
Lalu perlahan saya mengantuk lagi, dan tertidur singkat, hanya sekedar lima menit. Namun mimpi yang saya alami rasanya panjang sekali. Nyaris seharian! Dan di sana saya melihat visi yang indah sekali. Walaupun hanya warna-warna abstrak, namun membuat hati terhibur, senang.
Terbangun dan segar kembali, saya kembali ke arah Jembatan Tirtonadi. Beberapa tukang ojek keheranan melihat saya. "Ga nginep? Ziarah?" Tanya mereka berkali-kali. "Ga pak, main-main saja, terima kasih." Sambil dengan halus menolak tawaran mereka mengantar sampai tujuan.
Tepat pukul 05:00, saya menikmati matahari yang perlahan tenggelam, lalu membandingkannya dengan foto-foto tadi pagi. Indanya tetap luar biasa!
Setelah azan magrib menjelang, dan mentari menghilang perlahan, saya pun berjalan ke Terminal Tirtonadi, mencari bus untuk perjalanan berikutnya.
Ke mana? Ikuti saja cerita saya selanjutnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Trip Selengkapnya