Zzzzzz...
Usai check out dengan penjaganya yang ramah, saya kembali menelusuri jalan berputar-putar menuju Terminal Tritonadi. Maksudnya sih kembali mencari makanan unik yang jarang ditemui di Jakarta. Tapi setelah lama sekali, akhirnya saya menyerah, pilihannya cuma Mie Bandung Like Gie.
"Ada muntahu dan koloke, Pak?" Saya coba yang memang belum pernah saya coba, namun sudah sedari tadi saya lewati berkali-kali. "Ada, tunggu saja di meja, nanti saya siapkan." Jawab Pak Gie.
Muntahu lebih mirip sup krim ayam, bedanya ada campuran potongan tahu dadu yang lembut, dan daung bawang yang besar. Rasanya nikmat sekali. "Pasti lebih enak lagi kalau dinikmati malam hari dengan minuman hangat," Pikir saya.
Sementara untuk ayam koloke, agak mengecewakan. Ternyata ini Cuma sedikit variasi dari ayam kluyuk yang pernah saya coba di Bandung. Bedanya, rasa dan aromanya yang asam dan manis lebih tajam ketimbang ayam kluyuk. Selain itu potongan sayur yang dimasukkan juga lebih banyak, dengan selingan bunga kol dan serpihan daging sapi.
Saya tanyakan kepada Pak Gie, apakah ia berasal dari Bandung? Ia tertawa, "Ya bukan."
"Terus kenapa nama warungnya Mie Bandung, Pak?" Tanya saya penasaran. "Ya nama masakannya yang populer saja Mie Bandung," Jawabnya.
Saya pun ikut terkekeh geli. Ya memang di sini standar penamaan untuk kuliner belum ada, jadi siapapun bisa mengklaim apa saja nama masakannya. Kalau sudah populer Mie Bandung, maka jadilah ia Mie Bandung.
Saya terus berjalan lagi ke arah Bendung Tirtonadi dan sampai di jembatannya. Sedikit kejutan, karena kini di salah satu ujungnya ada keris raksasa, seolah memang memperlihatkan karakteristik budaya Jawa yang memang melekat dengan keris.
Sesampai di sana, saya masih terngiang-ngiang dengan ucapan Pak Parno kemarin di pinggir kali. "Kalau mau tempat wisata yang unik, coba Astana Utara di belakang Pasar Nusukan. Di situ tempatnya orang ziarah dan lumayan mistis."