"Berapa, Bu?" Tanya saya sambil merogoh dompet mencari uang Rp 50 ribuan, karena takut mahal. Soalnya enak sekali nasi tumpangnya. Dan jawaban Bu Asih sangat mengagetkan.
"Delapan ribu saja." Â
Inilah yang saya kagumi di Solo. Mau makanan seenak apapun pasti harganya tidak memberatkan kantong. Pantaslah orang Solo selalu terbebas dari muka stres. Di sini biaya hidupnya rendah sekali. Bahkan dengan lima ribu rupiah pun kita bisa makan enak.
Selesai makan tumpang, saya terus membakar kalori ke arah Stadion Manahan, berniat pulang. Namun di peta saya lihat ada wilayah berwarna hijau cukup besar, menandakan ruang terbuka hijau atau taman.
Taman ini mirip dengan Setu Babakan di Jakarta. Di dalamnya ada kolam atau waduk cukup besar, dikelilingi beberapa bangunan dengan ukiran khas Solo. Dan seperti Setu Babakan, di sini sering diadakan pentas budaya. Saat masuk, saya tanyakan tiketnya, "Gratis saja kalau berjalan kaki," bapak-bapak penjaganya tersenyum ramah. Saya ucapkan terima kasih untuk senyumnya yang renyah itu.
Bedanya dengan Balekembang, di sini sekalian ada beberapa hewan yang bisa kita berikan makanan, di bagian ujung taman. Namanya Taman Kelinci. Spot ini jelas menjadi favorit anak-anak.Â
Dengan Rp 5000 saja per orang, mereka bisa menikmati interaksi dengan burung hantu, domba, iguana, kura-kura, dan tentunya kelinci. Untuk membeli makanannya, harus disiapkan lagi Rp 5000 untuk semangkuk makanan kelinci atau sepotong wortel.
Terus berputar-putar beberapa kilometer lagi, akhirnya sampai kembali di Slamet Riyadi, dan langsunglah ngorok di Hotel Putri Sari hingga siang hari dan waktunya check out...